
Ada Apa Dengan Administrasi Negara-Negara Miskin Sehingga Muncul Istilah Administering To The Poor???
(Direview dari: Administering To The Poor (Or, If We Can’t Help Rich Dictators, What Can We Do For The Poor?) By John D. Montgomery)
Selama ini bantuan yang diberikan oleh negara-negara pendonor tetap tidak begitu membantu negara-negara miskin untuk bisa maju sejajar dengan negara-negara kaya. Meskipun usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara kaya untuk membantu negara-negara miskin sudah berlangsung lama dan telah berhasil tetapi tetap saja mengalami permasalahan. Karena yang dibutuhkan oleh negara-negara miskin bukanlah cuma bantuan modal atau bantuan teknis saja tetapi bagaimana membantu permasalahan administrasi yang buruk pada negara-negara miskin. Bantuan yang diberikan tidak sekedar untuk mendapat simpati saja tetapi juga harus memiliki harapan dan keinginan untuk meningkatkan kemajuan internasional, negara-negara kaya harus membangun hubungan kolaboratif yang membangun untuk kemajuan pembangunan dan ekonomi satu sama lain.
Administering the poor sendiri bisa didefinisikan dengan upaya menentukan dan menyesuaikan serangkaian masalah-masalah pada administrasi yang tidak sempurna di dalam program-program pemerintah di negara lain, yang dimana bantuan konvensional administrasi publik masih dibutuhkan. Jadi bagaimana membantu menyelesaikan masalah-masalah administrasi yang buruk yang mengakibatkan program-program bantuan yang diberikan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara miskin tidak berjalan dengan semestinya.
Mencari keuntungan yang cocok merupakan tugas utama dari perkembangan diplomasi. Pilihan akhir seringkali melibatkan pertukaran dan kerjasama dalam jangka panjang, keuntungan tinggi yang bersifat sementara, tetapi apa yang didapatkan tidaklah signifikan. Hal inilah yang merupakan keputusan yang sangat penting. Jika program yang dipilih salah, seperti yang terjadi di Iran dan Vietnam, maka kerugian bagi kedua belah pihak akan cukup besar. Kegagalan dapat disebabkan oleh sistem administrasi yang buruk, tetapi keputusan untuk menggunakan bantuan pembangunan untuk membantu pemerintah yang tidak memiliki sistem administrasi yang baik akan lebih harus diutamakan daripada hanya mengharapkan hasil.
Keberhasilan terbesar di dalam bantuan luar negeri telah muncul pada keberadaan dua fitur berikut ini:
1. Konteks politik dengan tujuan kerjasama mutual, yang dimana kedua pihak dapat memikirkan tujuan-tujuan jangka panjang,
2. Perhitungan keuntungan yang tepat dan sesuai dengan apa yang diharapkan bagi kedua belah pihak.
Contoh cerita-cerita keberhasilan yaitu transfer teknologi, yang dimana teknologi dapat meningkatkan pertanian dan industri di negara-negara yang kurang maju, hal ini membawa keuntungan yang cukup lumayan melalui revolusi hijau dan industri-industri di Asia, selain itu, hal ini juga meningkatkan aliran perdagangan internasional. Sangatlah benar bahwa keberhasilan ini memiliki sisi yang cukup gelap: yaitu urbanisasi prematur yang mengikuti pembangunan industri, ketidakpuasan akan cepatnya perubahan dan ketimpangan, dan menurunnya transaksi perdagangan internasional. Tetapi dampak yang paling parah bisa dicontohkan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh rezim Kennedy-Johnson-Nixon-Carter, dimana mereka menggunakan bantuan luar negeri untuk menciptakan “stabilitas” secara langsung dengan meningkatkan sub-sistem administrasi pusat dan mereka juga mengorbankan tujuan-tujuan pembangunan hanya demi kepentingan keamanan nasional. Dengan demikian, walaupun keberhasilan bisa diraih, seperti contohnya dengan menumpas rezim komunis di Vietnam dan Iran selama satu dekade, tetapi sebenarnya usaha Amerika tersebut gagal jika dilihat dari upaya mereka yang mendiskreditkan bantuan internasional.
Pada akhir-akhir ini, PBB, Kongres Amerika Serikat, Bank Dunia, dan kader para pemimpin nasional mulai secara serius mencara cara untuk menurunkan angka kemiskinan tanpa merusak prospek-prospek yang ada di masyarakat. Para aktor dunia ini masih membutuhkan untuk mengembangkan serangkaian prinsip-prinsip administrasi pembangunan yang tepat yang dapat melayani masyarakat. Dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip ini sebenarnya tidak akan menjadi lebih sensitif di dalam konteks internasional, apalagi usaha-usaha tidakbelaskasihan dengan membentuk kekuatan polisi atau memberikan kekuatan pada para pemungut pajak di negara-negara berkembang. Tetapi, hal ini akan menjadi pengalaman tidak hanya pada tradisi administrasi publik barat, dan dengan demikian hal tersebut memiliki resiko kegagalan yang lebih besar. Tetapi setidaknya, usaha-usaha tersebut di dalam program-program bantuan teknis untuk membawa keuntungan kepada negara-negara miskin dapat dibanggakan jika mereka berhasil, seperti yang tidak pernah mereka rasakan pada kasus Iran ataupun Vietnam. Dan bahkan jika mereka gagal, situasi akan menjadi lebih parah. Dengan demikian, keberhasilan di dalam sasaran-sasaran yang tidak tepat di Iran itu bisa dikatakan lebih bersifat menyeramkan daripada dikatakan sebagai sebuah kegagalan didalam usaha untuk memberantas kemiskinan.
Masalah-masalah khusus dari pengembangan sumber daya manusia dapat dikelompokan kedalam enam kategori:
1. Masalah-masalah tersebut melibatkan rancangan dan manajemen proyek-proyek yang baru. Proyek pembangunan tradisional di dalam menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat; proyek tersebut bisa dikatakan berjalan bila dapat mendatangkan pendapatan, atau income atau kesejahteraan yang lebih, proyek-proyek ini dirancang untuk memanfaatkan teknologi tinggi, dan proyek-proyek tersebut akan dapat diimplementasikan dengan baik ketika dapat melibatkan peran pemerintah standar. Dan akan dianggap rasional sepanjang proyek-proyek bantuan ini dapat terus melakukan pengembalian investasi.
2. Masalah-masalah ini harus sesusai dengan “jarak kognitif” yang memisahkan para administrator dari masyarakat. Salah satu masalah yang cukup serius di dalam mengadministrasikan negara miskin adalah kesulitan aparatur administrasi di dalam memahami kebutuhan-kebutuhan mereka, dan persepsi masyarakat serta keadaan geografis yang menciptakan jarak antara publik dan aparatur semakin jauh. Terdapat alasan-alasan fisik dan geografis untuk jarak kognitif ini; masyarakat miskin biasanya tinggal di wilayah-wilayah terpencil, yang dimana para aparat birokrasi sulit untuk melakukan kontak karena wilayah yang sulit dijangkau. Dan terdapat juga jarak sosial yang jauh, hal ini muncul karena adanya kesenjangan sosial, budaya, dan pendidikan yang tinggi. Kesenjangan-kesenjangan ini tidak dapat dipecahkan hanya dengan niat baik saja. Elemen-elemen ini dapat dipecahkan melalui training dan penugasan khusus di lingkungan birokrasi, ada beberapa paham yang menyatakan untuk melakukan penugasan khusus maka sistem birokrasi harus merubah sistem insentif yang berlaku di dalam administrasi. Tetapi di dalam sistem penugasan khusus, masih ada hal lain yang harus dikorbankan oleh birokrat itu sendiri, seperti lokasi yang terpencil, buruknya tingkat kesehatan pemukiman di daerah terpencil, kurangnya pendidikan, hal-hal seperti inilah yang mungkin bisa memberatkan aparatur yang ditugasi beserta keluarganya. Gap-gap atau jarak kesenjangan yang ada memang harus dipecahkan, hal ini memang membutuhkan waktu dan usaha-usaha yang serius, dan perubahan-perubahan sangat dibutuhkan di dalam keseluruhan administrasi secara holistik untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
3. Adanya kebutuhan akan proyek-proyek skala kecil seperti halnya pendekatan-pendekatan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pilihan para perencana dan pendonor untuk aktifitas-aktifitas skala besar tidaklah berubah secara drastis: para perencana dan pendonor mengekonomisasi pada rancangan yang sulit dan sumberdaya-sumberdaya administratif dengan mengurangi sejumlah perusahaan yang dimonitor. Bahkan biaya awal dari perizinan proyek tidak terlalu mengurangi ketika dimensi-dimensi program dikurangi. Di samping dari pertimbangan-pertimbangan administrasi ini, terdapat fakta yang tidak bisa dihindari bahwa proyek-proyek besar memang lebih impresif dan dengan demikian hal ini menghasilkan keuntungan-keuntungan jangka pendek untuk para kaum politisi. Tetapi pengalaman dengan pengurangan tingkat kemiskinan tidak mengiyakan keyakinan bahwa intervensi-intervensi skala besar akan cukup. Ketika transfer langsung mungkin dilakukan melalui program-program keamanan sosial atau program pemberian kebutuhan pangan, sistem nasional yang berbasis pada kriteria pemenuhan syarat seragam akan berfungsi, tetapi ketika batasan sumberdaya tidak mengizinkan redistribusi kesejahteraan, usaha-usaha atas nama masyarakat miskin harus ditargetkan pada mereka yang paling membutuhkan pelayanan-pelayanan dari pemerintah. Usaha penargetan tersebut membutuhkan pendiagnosaan kebutuhan, dan sejumlah besar dari proyek-proyek skala kecil harus dimungkinkan untuk meraih kelompok-kelompok masyarakat yang terisolir. Proyek-proyek multi membutuhkan perubahan-perubahan besar di dalam prosedur yang digunakan untuk memilih, merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi aktifitas-aktifitas publik.
4. Masalah-masalah khusus pembangunan sumber daya manusia tergantung pada lingkungan, dan juga sumberdaya-sumberdaya administrasi pusat. Sistem administrasi pusat yang tersentralisir tidak dapat mencakup dengan sejumlah proyek-proyek kecil yang dibutuhkan untuk memperoleh respon dari kelompok-kelompok masyarakat yang sulit dijangkau dan kurang beruntung. Tetapi jika pemerintah lebih disandarkan pada sistem desentralisasi, mereka harus mengaplikasikan standar dan performa yang baru di lapangan. Perubahan pada performa di lingkungan sangatlah sulit untuk diwujudkan; perubahan-peruabahan perlu mengikuti apa yang dikomandokan dari pusat. Peningkatan kualitas seperti contohnya reformasi pelayanan publik di kalangan negara-negara baru di PBB mungkin telah meningkatkan efisiensi di banyak instansi-instansi pemerintahan pusat, tetapi di lapangan, pengaruh mereka tidaklah berarti. Proyek-proyek ‘gaya baru’ akan membutuhkan perubahan luas pada perilaku dan sistem yang ada di birokrasi lokal dan juga di birokrasi pusat. Pemerintah harus mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan publik akan pelayanan-pelayanan baru, mereka juga harus memanajeman usaha-usaha kecil di tingkat lokal untuk mengetahui sumberdaya-sumberdaya apa yang tersedia di daerah-daerah. Pemerintah harus merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program-program dengan menggunakan standar-standar dan prosedur-prosedur yang baru dan tepat.
5. Waktu yang dibutuhkan untuk melatih para aparatur akan lebih membutuhkan waktu dibanding dengan membangun bangunan-bangunan dan sarana pemerintah, hal ini berlaku juga untuk melatih para guru dibanding dengan waktu yang dibutuhkan untuk membangun bangunan sekolah. Jika kita berpijak pada pemahaman ini, akan lebih lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pendidikan, pemberantasan malnutrisi, dan pemberantasan buta huruf. Program-program dengan sasaran-sasaran sosial seperti diatas tidak bisa diukur dengan peraihan secara fisik saja, krteria kesejahteraan membutuhkan analisis perilaku masyarakat. Relatif terhadap keterlibatan pendanaan dan ukuran masyarakat yang dilayani, proyek-proyek pembangunan sumber daya manusia adalah proyek-proyek yang bisa dikatakan sebagai proyek jangka panjang. Permasalahan-permasalahan di atas cukup membuat para pihak donor internasional dan para perencana pembangunan menjadi bingung atau dilema: kerangka waktu yang panjang bagi dukungan proyek, perlu adanya eksperimen-eksperimen operasi, dan harus adanya niat baik untuk menyediakan pendanaan awal dan investasi untuk mencegah terhentinya implementasi program-program yang berjalan.
6. Adanya kebutuhan akan penggunaan sumberdaya-sumberdaya administratif yang tidak konvensional. Karakteristik-karakteristik sudah dijelaskan yang menyarankan kebutuhan untuk memperluas kinerja administrasi sehingga dapat meraih wilayah-wilayah yang terisolir, dan untuk menjangkau masyarakat tertentu yang lebih membutuhkan. Jenis pelayanan pembangunan sumberdaya manusia ini sangatlah membutuhkan hubungan intensif dengan masyarakat karena masyarakat terus mengalami dinamika perilaku, yang membutuhkan sistem pelayanan pendidikan yang adaptif. Tetapi birokrasi yang formal dan hirarkis tidaklah cocok untuk memainkan peranan sistem yang adaptif; beberapa masalah pun akan muncul seperti biaya untuk mengaplikasikan pelayanan-pelayanan yang adaptif, prosedur-prosedur yang harus selalu baru, dan lain-lain. Sistem birokrasi pusat memiliki peran untuk melakukan pelayanan terhadap kelompok masyarakat tertentu, tetapai sistem birokrasi ini harus mengembangkan sumberdaya-sumberdaya administrasi yang ada untuk melahirkan sistem administrasi yang baru.
Mungkin, peran terbaik yang bisa dimainkan oleh birokrasi untuk mencari cara supaya sistem administrasi dan pelayanan publik yang mereka lakukan menjadi lebih ekstensif atau luas adalah dengan merekrut, melatih, membimbing, menggunakan pihak profesional, dan untuk menggunakan pengetahuan manajemen sumberdaya publik, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kelompok sukarelawan yang mau membantu mengimplemetasikan program pemberantasan kemiskinan, dan yang terpenting, adalah untuk membantu organisasi-organisasi yang sudah ada dan sudah eksis telah melaksanakan program pemberantasan kemiskinan. Karena para organsisasi yang berkomitmen ini biasanya memberikan bimbingan pada manajemen internal mereka dan menyediakan informasi mengenai sumberdaya-sumberdaya yang mungkin tersedia untuk pembangunan dan pengembangan lebih lanjut. Organisasi-organisasi ini juga bisa berperan sebagai perantara antara organisasi-organisasi informal di lapangan dengan pemimpin politik dan administrasi yang berada di pusat, hal ini dilakukan sebagai hubungan yang saling menguntungkan.
Semua dari perluasan usaha sistem administrasi telah diterapkan pada program-program pembangunan sumberdaya manusia dan pemberantasan kemiskinan, dan ketika meraih keberhasilan, hal ini bisa menyediakan pelayanan dan kesuksesan yang tidak bisa didapat melalui birokrasi konvensional. Tetapi sumberdaya-sumberdaya administrasi ini sulit untuk dikembangkan dan sulit untuk diatur.
Tidak ada sistem administrasi yang akan mudah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di atas. Secara individu, keenam masalah ini dapat dipecahkan melalui perubahan di dalam kebijakan publik atau kebijakan administrasi dengan tanpa memberikan dampak terhadap performa pemerintah. Proyek-proyek dan program-program dapat dirancang dengan lebih menitikberatkan pada respon masyarakat; komitmen yang panjang untuk pendanaan proyek dapat berasal dari persetujuan antara pemerintah denan donor internasional; proyek-proyek kecil dapat dilakukan secara lokal dan didukung oleh sistem perencanaan nasional; peningkatan administrasi pada permukaannya merupakan proses yang lambat tetapi merupakan konsekuensi yang alami dari prosedur yang lebih baik; persepsi administrator yang berubah-ubah akan kebutuhan dan kapasitas masyarakat miskin dapat diambil seperti struktur birokrasi untuk merespon. Tiap persyaratan ini sangatlah mungkin walaupun bersifat menyulitkan. Masalah nyata adalah peningkatan utama di dalam pembangunan sumberdaya manusia tidak akan muncul sampai semuanya diraih dengan sukses. Hal ini merupakan kombinasi dari masalah-masalah ini yang membutuhkan pendekatan berbeda yang khusus di dalam mengatur negara-negara miskin.
Pemecahan masalah-masalah ini secara terpisah akan memunculkan kontradiksi dan ketidakkomptibelan yang tidak dapat direkonsiliasikan dengan peningkatan marjinal dan incremental. Sebagai contoh, perancangan kembali proyek-proyek yang dijalankan yang memperoleh respon positif dari tiap kelompok masyarakat tertentu adalah operasi administrasi yang intensif. Pada sistem konvensional, hal ini akan lebih membutuhkan keahlian dan penggunaan insentif performa yang lebih luas dibanding yang biasanya tersedia untuk pelayanan publik; semakin besar birokrasi tumbuh untuk mendesain kembali proyek-proyek dan mengadministrasi para personel untuk tujuan-tujuan ini maka birokrasi akan semakin mampu untuk berdiri sendiri. Semakin banyak proyek-proyek kecil yang ada di dalam sistem –seperti yang dibutuhkan oleh misi penjangkauan masyarakat tertentu– maka akan lebih sulit untuk memelihara komitmen jangka panjang dan untuk mengendalikan kualitas dan keadilan dari operasi-operasi proyek-proyek yang sudah dilakukan. Jika administrasi semakin melibatkan pada partisipasi lokal, maka lingkungan sistem administrasi akan semakin kuat, yang dimana bisa memunculkan banyak inovasi. Pendeknya, usaha-usaha untuk mengatur masyarakat miskin termasuk didalamnya kebutuhan akan investasi berorientasi respon atau daya tanggap yang membutuhkan kebutuhan akan proyek-proyek administrasi yang intensif; penggunaan proyek-proyek skala kecil yang membutuhkan pendekatan proyek administrasi intensif; kepercayaan terhadap pada sumberdaya-sumberdaya administratif yang mengancam standar profesional dari manajemen inti; kebutuhan kerangka waktu yang lebih panjang yang membutuhkan derajat keprofesionalan yang lebih tinggi dan pada saat yang bersamaan mengurangi kapasitas diskresionary administrator lokal untuk merespon secara kreatif untuk merubah kebutuhan-kebutuhan proyek; penggunaan organisasi-organisasi infomral sebagai bantuan untuk administrasi yang menantang otoritas dari manajer lingkungan dan pusat; kebutuhan untuk mengurangi jarak kognitif antara ofisial pemerintah dan masyarakat miskin yang membutuhkan kontak yang lebih dekat antara dua elemen ini.
Solusi sepertinya menyediakan fleksibilitas untuk menimbang keterlibatan desentralisasi pembuatan keputusan. Tujuan adalah untuk menciptakan penggunan otoritas yang lebih bijak. Desentralisasi ini adalah sebuah kesulitan politis dan terkadang tampak tidak mungkin, tetapi hal ini adalah sebuah pra kondisi untuk lebih disempurnakan lagi. Hanya ketika para perencana pembangunan disiapkan untuk berbagi otoritas pembuatan keputusan mengenai desain proyek, implementasi, dan alokasi dana, maka mungkin untuk menciptakan proyek-proyek besar dan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat di dalam aktifitas pembangunan. Dekonsentrasi juga memberikan otoritas pusat, waktu yang lebih panjang dari kesepakatan di dalam rincian proyek akan terwujud jika fungsi-fungsinya bisa berjalan. Hal ini tentu saja tidak bisa mengurangi jarak kognitif antara otoritas pusat dengan masyarakat tertentu, tetapi hal ini menyediakan insentif untuk administrator untuk melakukan hal tersebut karena mereka telah mengambil tanggungjawab atas hasil dari proyek.
Pentransferan kebijakan-kebijakan pembangunan kepada yuridiksi lokal juga berlaku di lembaga-lembaga perencana nasional. Permasalahan-permasalahan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten tertentu dimanajen secara tidak efisien, dan hal ini hanya bisa diharapkan adalah dengan sentralisasi. Tren terhadap sentralisasi memiliki usia yang sudah cukup lama, berawal dari kejayaan “negara-nasional” yang menggulingkan sistem feodalisme dan kota-kota berbenteng. Hal ini merupakan penangkal untuk konflik kepentingan politik dan prioritas-prioritas yang dapat merintangi pembangunan nasional.
Tidak ada inkompatibilitas tujuan antara program pusat dan program daerah akan pembangunan sumberdaya manusia, hal ini berbeda dengan program-program lainnya seperti contohnya program-program pembangunan fisik atau pemeliharaan standar pendidikan dan ketenagakerjaan.
Desentralisasi yang efektif tidak dapat diraih dengan hanya satu tindakan. Hal ini membutuhkan serangkaian keputusan pentransferan kewenangan yang dilakukan secara hati-hati. Keputusan-keputusan ini dapat mengikuti beberapa tahap alternatif, dimulai dengan eleminasi prosedur untuk mengeluarkan dana bagi proyek yang sudah disetujui, atau dengan penugasan tanggungjawab untuk proyek-proyek pengembangan yang didanai secara otomatis oleh finansial yang terencana. Tahap ketiga, untuk meningkatkan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia secara lokal dengan memperluas basis pajak pada pemerintahan lokal sehingga pemerintahan lokal dapat menjalankan program-program yang sudah terancang atas usaha mereka, tetapi hal ini sangat jarang tersedia di negara-negara berkembang. Alternatif pertama melibatkan pendanaan pusat dan dengan demikian membutuhkan prosedur-prosedur baru untuk mengontrol atau mengaudit: desentralisasi biasanya melibatkan prosedur-prosedur sederhana dan lebih tidak terlalu administratif. Keduanya memiliki resiko baik kepada agen donor maupun kepada pemerintah lokal.
Dimensi dari program-program baru ini membutuhkan perubahan yang drastis di dalam kebijakan bantuan internasional. Mungkin, kekuatan Amerika Serikat yang sedang cenderung mengalami penurunan sedang menghadapi tuntutan serius, yang dimana mereka tidak lagi bisa menyediakan model untuk para donor lainnya untuk ditiru. Kenyataannya adalah, potensialitas dari bantuan luar negeri tidak membuat para presiden Amerika Serikat tertarik dalam dua dekade terakhir. Jika pengurangan di dalam bantuan luar negeri terus berlanjut, maka tidak akan lagi terjadi seperti yang terjadi pada tahun 1980-an, 1960-an atau 1970-an yaitu ketika Amerika Serikat dengan tekad kuat untuk membimbing Vietnam dan Iran keluar dari keterpurukan, dan mereka pun gagal.
Dilain sisi, visi penggunaan bantuan luar negeri untuk mengadministrasi masyarakat atau negara miskin adalah dengan mengembangkan tekad yang kuat didalam agen-agen internasional. Para pengatur, investor, pendonor, dan konstituante nasional bersifat lebih toleran pada sasaran-sasaran jangka panjang. Bank Dunia dan PBB dapat mengambil pengalaman atas apa yang dialami oleh Amerika Serikat, mereka menyarankan Amerika Serikat untuk belajar mengenai kerapuhan program dan proyek-proyek pembangunan yang berorientasi elitis. Para pemerintah di negara-negara berkembang juga telah bereksperimen mengenai pendekatan organisasional yang baru yang sudah disebutkan pada artikel ini: yaitu cara baru manajemen irigasi, reformasi lahan, dan pembangunan desa, tetapi eksperimen-eksperimen ini bukanlah sistem. Implikasi dari semua ini untuk kebijakan nasional dan internasional hanyalah tahap awal.
Mengadiminitrasikan negara dan masyarakat miskin adalah fungsi yang membutuhkan komitmen politik yang kuat, bahkan harus siap melawan penolakan dari politikus dan pemerintah pusat. Penolakan ini akan muncul jika: apa yang mereka menjadi keberatan adalah fungsi-fungsi yang tidak bisa dilaksanakan secara efektif. Pendekatan akan hal ini membutuhkan para pemimpin administrasi dan politik untuk mengambil peran baru di dalam membentuk lembaga yang mampu melayani kelompok masyarakat tertentu yang tidak bisa dijangkau dengan cara birokrasi yang konvensional. Secara umum dapat disetujui bahwa ketika semua anggota masyarakat dapat meraih akses untuk melayani yang dibutuhkan untuk pembangunan sumberdaya manusia kolektif, maka performa di ranah ekonomi dan politik pun akan meningkat. Fakta tersebut memberi petujuk dominan untuk pembangunan administrasi pada tahun 1980.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Seperti yang telah disampaikan contoh di atas bagaimana kegagalan program-program yang diterapkan di Iran dan Vietnam oleh negara-negara pendonor dikarenakan sistem yang buruk dari administrasi. Bagaimana terjadi sistem administrasi yang buruk pada negara-negara miskin? Hal ini terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah: Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Jadi negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang menjajahnya. Di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial, hal ini pula yang terjadi di Indonesia. Padahal adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh karena itu negara-negara berkembang haruslah mempunyai basic pattern sendiri yang berasal dari kearifan lokal yang ada pada daerah tersebut misalnya sekarang yang sedang diterapkan di Kebumen yang mengkolaborasikan nilai spiritualisme dalam visi dan misinya.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah, maksudnya banyak orang berpendidikan tinggi tetapi mengganggur. Keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions). Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Yaitu preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Kemudian dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini pula berlaku di Indonesia, korupsi sudah menjadi hal yang wajar dan sangat susah untuk diberantas meskipun ada lembaga khusus yang menanggani masalah korupsi yaitu KPK, malahan untuk saat ini KPK sedang mengalami permasalahan yang pelik dengan Polri yang merupakan usaha untuk mengkerdilkan KPK.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Yaitu sebuah fenomena umum yang disebut sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan. Bahkan data-data yang diberikan kepada negara-negara pendonor seringkali tidak sesuai dengan realita yang ada karena dianggap sebagai sebuah formalitas saja.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif. Hal ini juga berlangsung di Indonesia yaitu birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien. Kemudian unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections) mempengaruhi birokrasi, yang sangat bertentangan dengan asas birokrasi yang baik (misalnya menurut kriteria Weber). Contoh yang nyata adalah yang terjadi di Universitas kita yang tercinta Univesitas Jendral Soedirman, bahwa birokrasi di Unsoed masih menganut paham kekeluargaan dan hubungan primordial yang lainnya sehingga muncul anekdot Unsoed adalah “Universitas Saudara” sebab untuk pegawai-pegawai di manajemen Unsoed masih ada hubungan kekeluargaan.
Di Indonesia karena administrasi yang dijalankan buruk maka banyak terjadi kegagalan dengan program-program yang telah diterapkan oleh negara-negara pendonor. Hal ini terjadi karena kebijakan-kebijakan yang diminta negara pendonor tidak mampu diformulasikan dan diimplementasikan dengan baik oleh birokrasi negara berkembang (administrative incapacity). Sebab kebijakan yang dirumuskan tidak jelas dan tidak didasari asumsi yg realistik, kemudian manajemen yang buruk karena tidak terintegrasi dengan baik satu dengan yang lainnya dan lingkungan sosial ekonomi yang tidak kondusif seperti terdapat perda yang kontra dengan tujuan program. Selain itu struktur administrasi yang overly centralized yang diakibatkan oleh tingkat pendidikan birokrat yang rendah sehingga menyebabkan kontrol pusat tinggi, kurang percaya terhadap kemampuan birokrat, dan imbas sisa-sisa praktik administrasi kolonial serta diakibatkan juga oleh kebijakan desentralisasi tidak efektif karena ketergantungan daerah terhadap pusat tetap tinggi dan yang terakhir adalah disebabkan oleh distorsi model birokrasi Weber yaitu terlalu mendewakan birokrasi Weber sebagai bentuk birokrasi yang terbaik dan sempurna.
Maka untuk memperbaiki keadaan tersebut muncul administrering to the poor yang sebenarnya adalah suatu konsep dalam pembangunan dimana dibutuhkan pembaharuan dalam administrasi pada negara-negara miskin agar program-program yang diterapkan oleh negara-negara kaya bisa sukses dan berhasil. Untuk itu maka dibutuhkan perubahan di dalam kebijakan publik atau kebijakan administrasi dengan tanpa memberikan dampak terhadap performa pemerintah. Terdapat sebuah analisis yang lebih mutakhir mengenai keadaan administrasi di negara-negara miskin yang menunjukkan bahawa upaya memperbaiki kinerja birokrasi negara harus meliputi ketanggapan (responsivenes) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu parbaikan meliputi peningkatan keterampilan atau penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan atau pengelompokan kembali (realigment) fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanizing management), dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan, serta cara rekrutmen yang harus lebih bersifat representatif.
Namun demikian pembaharuan memerlukan semangat yang tidak mudah patah. Semangat dan tekad diperlukan untuk mengatasi inersia birokrasi dan tantangan yang datang dari kalangan yang dirugikan karena perubahan. Oleh karena itu, pembahruan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, di dukung oleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen. Ini berarti pula perlunya perhatian dan komitmen terhadap etika, baik dalam penerapan konsepsi maupun pengalamannya. Upaya pembaharuan tersebut tidak harus segera menghasilkan perubahan besar, tetapi dapat secara bertahap (incremental), namun konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar