Rabu, 27 Januari 2010



THE IMPORTANCE OF A NATIONAL STRATEGIC FRAMEWORK FOR E-GOVERNMENT
 E-Government
Sebelum mambahas tentang pentingnya kerangka kerja strategi nasional untuk E-Government marilah terlebih dahulu membahas apa itu e-government. Menurut World Bank atau Bank Dunia, “E-government berkaitan dengan penggunaan teknologi informasi (seperti wide area network, internet dan komunikasi bergerak) oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kemampuan untuk mentransformasikan hubungan Pemerintah dengan warganya, pelaku dunia usaha (bisnis), dan lembaga pemerintah lainya. Teknologi ini dapat mempunyai tujuan yang beragam, antara lain: pemberian layanan pemerintah yang lebih baik kepada warganya, peningkatran interaksi dengan dunia usaha dan industri, pemberdayaan masyarakat melalui akses informasi, atau manajemen pemerintahan yang lebih efisien. Hasil yang diharapkan dapat berupa pengurangan korupsi, peningkatan trasparansi, peningkatan kenyamanan, pertambahan pendapatan dan atau pengurangan biaya” (Achmad Djunaedi dalam Juanidi, 2005:57). Pada intinya e-government adalah penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara pemerintah dan pihak-pihak lain.
 Pentingnya Kerangka Kerja Strategi Nasional Untuk E-Government
Pelaksanaan e-government memerlukan kepemimpinan yang kuat dan visi. Ia juga memerlukan strategi yang komprehensif yang tidak hanya pada benchmarking praktek-praktek terbaik global, tetapi juga peka terhadap kondisi ekonomi dan politik atau realitas (Pascual, 2003:21). Yang dimaksud dengan benchmarking (dalam Saragih, 2006:526) adalah suatu proses yang berkelanjutan, yaitu suatu proses yang tiada hentinya. Jadi yang dimaksud dengan benchmarking disini adalah praktek-praktek dari e-government yang sudah mengalami inovasi sesuai dengan kebutuhan.
Untuk menjadikan e-government menjadi kenyataan, pemerintah, dalam konsultasi dengan pemangku kepentingan (stakeholders), disarankan untuk mengembangkan Kerangka Kerja Strategis Nasional, yang diungkapkan nyata visi pemerintah, sasaran dan tonggak, teknis pendekatan dan standar untuk sistem e-goverment. Kerangka seperti itu harus memberikan informasi privasi, keamanan, pemeliharaan, dan standar keseluruhan. Namun, hal ini harus dikatakan pada permulaan bahwa kerangka kerja nasional bukan merupakan prasyarat untuk proyek e-government. Untuk meletakkan ini lebih tepat, kritik proyek e-government pada departemen/lembaga atau tingkat pemerintah daerah tidak boleh bertahan semata-mata untuk kurangnya kerangka kerja strategi nasional. Terlalu banyak pemerintahan menghabiskan bertahun-tahun dan sumber daya berharga pada proses pengembangan strategi nasional, ketika mereka dapat bergerak maju pada beberapa proyek penting. Apa pemerintah harus menyadari bahwa kerangka kerja strategis nasional merupakan proses dan tidak dokumen yang statis (Pascual, 2003:21). Jadi di sini yang dimaksudkan adalah bahwa untuk mewujudkan e-government memang harus dibutuhkan suatu kerangka kerja strategis nasional yang jelas tetapi meskipun tanpa adanya kerangka kerja ini e-government pun dapat dilakukan dan setiap pemerintah jangan hanya terpaku hanya pada kerangka kerja saja karena setiap pemerintah harus menyadari bahwa kerangka kerja strategis nasional akan terus berproses dan mengalami pengembangan, sehingga pemerintah jangan terlalu banyak menghabiskan waktu dan biaya dalan rangka proses pengembangan strategi nasional ini.
Di Indonesia sendiri, inisiatif untuk mengembangkan e-government telah dimulai sejak tahun 2001, yaitu dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 6/2001 tanggal 24 April 2001 tentang Kerangka Kebijakan Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia, yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses demokrasi. Administrasi publik merupakan salah satu area di mana pemanfaatan teknologi informasi dapat digunakan untuk menyediakan akses bagi masyarakat terhadap pelayanan dasar dan mensimplifikasi hubungan antara masyarakat. Kemudian melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tanggal 3 Juni 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government, pemerintah menginstruksikan kepada seluruh instansi pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk mengimplementasikan e-government dalam upaya memfasilitasi kegiatan masyarakat dan kalangan bisnis untuk mewujudkan perekonomian berbasis pengetahuan (knowledge-based economy). Melalui pengembangan e-government dapat dilakukan penataan sistem manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan megoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi komunikasi. E-government merupakan suatu konsep penyelenggaraan pemerintahan yang menitikberatkan pada kepentingan masyarakat luas, dengan pemanfaatan teknologi telematika, khususnya internet. Masyarakat luas bisa memonitor dan memberikan masukan secara real-time, tentang apa yang sedang dan akan dilakukan oleh pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, serta dapat berpartisipasi aktif memberikan masukan serta kritik dan saran yang akan langsung diterima oleh pemerintah. Berbagai potensi layanan dan strategi implementasi e-government dapat diaplikasikan guna mendukung otonomi daerah, sehingga pelayanan lebih efektif, efisien dan transparan (Wahyuni dan Endarwanto, 2008:62-63).
• Terdapat dua pendekatan untuk e-government
1. Pendekatan Top-down
Yaitu ditandai dengan tingginya tingkat kontrol oleh pemerintah pusat, maka biasanya termasuk pengembangan strategi. Contohnya Singapura dan China.
2. Pendekatan Bottom-up
Yaitu masing-masing departemen dan pemerintah daerah secara independen maju
dengan proyek-proyek mereka sendiri, standar umum yang fleksibel, dan keseluruhan strategi nasional tidak begitu penting. Sebagai contoh, Amerika Serikat dan Filipina yang lebih dekat dengan pendekatan bottom-up.
Ada kelebihan dan kekurangan setiap metode. Dengan pendekatan top-down memfasilitasi integrasi. Namun, strategi pembangunan nasional, pendekatan yang menekankan, sering menghabiskan waktu dan keputusan teknologi yang cenderung miskin (dan karena itu, mahal dan sulit untuk mundur). Pendekatan bottom-up adalah kurang tertib dan cenderung beberapa kelebihan, tetapi juga memberi inspirasi inovasi, sehingga menghasilkan banyak proyek-proyek akar rumput. Pada akhirnya, pendekatan yang terbaik untuk e-pemerintah tergantung pada masing-masing negara, bagaimana dengan sistem politik, dan pada tingkat kompetensi dalam teknologi masing-masing unit pemerintah. Selain itu, kesadaran dan dukungan publik untuk e-goverment sangat penting untuk keberhasilan dan keberlanjutan. Maka perlu untuk stakeholder berkonsultasi dalam proses. Stakeholders termasuk masyarakat, LSM, bisnis, dan berbagai industri khusus
sektor, dan birokrasi. Adalah juga penting untuk memahami tren global untuk belajar praktik terbaik global proyek-proyek e-goverment dan strategi-strateginya. Hanya belajar dari negara-negara lain’ keberhasilan dan kegagalan adalah sebuah negara dapat secara efektif dan desain e-government strategi dan menghindari perangkap biaya waktu, uang dan sumber daya. Mempelajari pengalaman negara lain yang akan memungkinkan pemerintah akan memulai mengembangkan strategi e-goverment untuk menentukan prioritas mereka berdasarkan konteks budaya spesifik mereka (Pascual, 2003:22).
Di Indonesia sendiri dalam pelaksanaannya menggunakan pendekatan yang bottom-up, seiring dengan adanya otonomi daerah dan dengan adanya Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2003 tanggal 3 Juni 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Walaupun demikian, jauh sebelum adanya Inpres No.3/2003 lahir, beberapa pemerintah daerah sudah terlebih dahulu menggagas serta menerapkan sistem pelayanan publik berbasis elektronik atau e-government dalam skala terbatas. Pemerintah Kabupaten Takalar di Propinsi Sulawesi Selatan tampil sebagai daerah pelopor pertama penerapan teknologi informasi atau e-government di tingkat pemerintah daerah. Kabupaten Takalar mulai menerapkan Teknologi Informasi melelui sebuah bentuk sistem dinamakan Sistem Pelayanan Satu Atap atau disingkat SIMTAP sejak tahun 2000 (Ibrahim Syah, 2003). Kemudian pada tahun-tahun berikutnya, sejumlah daerah yang memiliki APBD berlimpah membangun infrastruktur e-government secara lengkap, seperti Kabupaten Kutai Kertanegara. Kabupaten di Propinsi Kalimantan Timur ini mengeluarkan dana milyaran rupiah untuk membangun Sistem Pelayanan Satu Atap (SIMTAP). Begitu juga dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, Kota Bogor di Jawa Barat, Kota Tarakan di Sulawesi, Kota Denpasar di Bali, Kota Yogyakarta di DIY Yogyakarta dan lain-lainnya. Sementara itu, pulau Sumatera tengah mencanangkan Sumatera Online untuk mengintegrasikan Sembilan propinsi dalam satu atap. Meski sebagian instansi pemerintah dan daerah tengah memacu diri menerapkan e-government, bukan berarti semuanya melakukan hal yang demikian. Ada banyak instansi atau daerah lain yang belum terjamah e-government. Gebyar e-government di Kawasan Indonesia Timur seperti NTB, NTT dan Papua belum marak. Malah ada juga daerah yang belum memiliki website (Junaidi, 2005:62-63).
• Cara yang tepat membangun infrastruktur e-goverment
Government Information Infrastructure (GII), yang merupakan jaringan yang menghubungkan semua instansi pemerintah, diperlukan untuk memastikan bahwa warga negara yang menikmati manfaat penuh e-goverment. Membangun GII adalah perbuatan yang sangat mahal yang memerlukan lintas instansi, lintas perencanaan pemerintah. Berikut ini harus dipertimbangkan bila bangunan seperti tulang punggung (backbone) pemerintah:
Implikasi biaya. Sebuah studi kelayakan keuangan yang diperlukan untuk menjadi berusaha. Analisis biaya-manfaat dapat membantu pemerintah baik memutuskan untuk membuka bagian dari tulang punggung pemerintah dan akses biaya ke operator telekomunikasi atau operator untuk mempertahankan operasi, atau untuk semuanya berjalan pada jaringan swasta yang sudah ada karena paksaan biaya.
Masalah infrastruktur. Termasuk di negera-negara yang ada infrastruktur,
sekarang tingkat penetrasi internet, kepadatan telepon, yang ada perubahan kecepatan teknologi, tunjangan untuk konvergensi, dan investasi di broadband.
Manfaat dan risiko. Memiliki backbone sendiri memastikan bahwa komunikasi pemerintah yang terbuka dan aman dan beroperasi 24 jam sehari, 7 hari seminggu dan 365 hari setahun. Namun, hal ini dapat berarti dana reguler untuk upgrade
dan pemeliharaan jaringan, dan untuk menyewa sebuah tim untuk mendukung jaringan penuh waktu.
Beberapa pemerintah dapat memutuskan bahwa mereka memiliki tulang punggung bangunan terlalu mahal dan terlalu membutuhkan waktu. Tulang punggung pembangunan dapat berlangsung bererapa tahun dan milyaran dolar untuk melengkapinya, dan jika pemerintah ingin segera terlibat dalam e-government, ada mungkin tidak cukup waktu atau uang untuk melakukannya. Alternatifnya adalah untuk bergerak dalam keberadaan tulang punggung telekomunikasi swasta, biasanya yang dijalankan oleh operator telekomunikasi yang besar. Ini berarti bahwa pemerintah akan entrusting keamanan jaringan ke operator, yang juga akan mengambil biaya pemeliharaan jaringan biasa dan dukungan teknis dan risiko kemungkinan sabotase jaringan. Dalam rangka meminimalkan risiko ancaman keamanan, pemerintah yang akan memakai tulang punggung swasta perlu mengatur jenis berikut keamanan: firewall, deteksi intrusi software, enkripsi, dan keamanan jaringan (seperti Virtual Private Networks, Wide Area Networks atau Local Area Networks) untuk instansi pemerintah yang membutuhkan tingkat keamanan tinggi, seperti angkatan bersenjata (Pascual, 2003:22-23).
Memang jika pemerintah tidak ingin bekerja sama dengan swasta jika akan membangun infrastruktur untuk pengembangan e-government maka akan membutuhkan biaya yang sangat banyak. Dengan melihat untung ruginya jika bekerja sama dengan pihak swasta dalam pengembangan infrastruktur e-government, maka jika pemerintah harus berhati-hati agar keamanan untuk data-data terjamin. Mungkin lebih aman jika bekerjasama dengan pihak swasta hanya pada hal-hal yang tidak berkaitan dengan keamanan negara, mungkin dengan bekerja sama dalam mengembangan hardware. Kasus yang dapat dipakai sebagai contoh adalah pengembangan infrastuktur implementasi salah satu bidang unggulan e-government di Yogyakarta yang sepenuhnya masih dibiayai oleh pemerintah melalui APBD dan APBN, meskipun belum bekerjasama dengan pihak swasta tetapi pemerintah Provinsi DIY sedang membuat aturan tentang sponshorship.
Pengembangan infrastruktur untuk mendukung implementasi e-government di Yogyakarta pada bidang pendidikan dilakukan dengan membangun pusat data (data center), pengadaan dan pengembangan software aplikasi pembelajaran, serta pengadaan laboratorium komputer bagi sekolah SD dan SMP yang belum memiliki laboratorium komputer. Badan Informasi Daerah (BID) sebagai lembaga yang mengelola IT di lingkungan pemerintah DIY bertugas untuk menyediakan dan membangun pusat data, walaupun anggaran yang digunakan untuk membangun pusat data tersebut berasal dari Dinas Pendidikan. Pusat data ditempatkan secara terpusat di BID karena sesuai dengan prinsip dan pengembangan layanan IT yang selalu mengupayakan integrasi system dan data, serta sesuai dengan prinsip infrastruktur yag dikelola secara terpusat dan semaksimal mungkin digunakan bersama. Selain aspek IT literacy yang harus dimiliki oleh para guru dan siswa, keseterdiaan alat akses yang dimiliki siswa juga menjadi salah satu aspek penting yang harus dipenuhi. Untuk memenuhi kebutuhan akan media akses bagi para siswa maka dibutuhkan alat berupa computer yang terhubung dengan jaringan internet. Tidak dapat dipungkiri bahwa alokasi anggaran untuk membiayai program Digital Government Services (DGS) pada bidang pendidikan kurang memadai dibandingkan dengan besarnya kebutuhan yang harus dipenuhi, terutama untuk pengadaan infrastruktur hardware. Untuk memenuhi kebutuhan laboratorium sekolah, Gubernur DIY telah mengajukan proposal kepada Depkominfo dan mendapat respon positif sertadukungan penuh dari Depkominfo melalui Program Satu Sekolah Satu Komputer atau OSOSL+ (One School One Computer+) yang rencananya direalisasikan pada tahun 2008, dengan memberikan bantuan berupa laboratorium komputer kepada 500 (lima ratus) sekolah SD dan SMP di seluruh DIY. Program ini merupakan sebagian upaya untuk megurangi kondisi kesenjangan digital di provinsi DIY.
Selain kegiatan-kegiatan yang telah disebutkan di atas, dalam rangka pembangunan infrastruktur telekomunikasi, Pemerintah Provinsi DIY sejak tahun 2003 juga telah merencanakan untuk membangun jaringan telepon nirkabel untuk di wilayah DIY dan sekitarnya, terutama untuk daerah-daerah pelosok yang belum dijangkau oleh jaringan kabel, dengan system CDMA (Code Division Multiple Access). Pemerintah Provinsi DIY juga menyelenggarakan program komputer murah melalui berbagai pameran. Melalui program komputer murah ini, komputer akan menjadi lebih memasyarakat dan hal tersebut dapat mengurangi kesenjangan digital di dalam masyarakat. Selain program komputer murah, ada juga program laptop murah yang khusus dibuat untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Laptop ini juga dilengkapi dengan kartu koneksi nirkabel untuk terhubung ke jaringan internet (Wahyuni dan Endarwanto, 2008:73-74).
• Arsitektur perangkat lunak dan mengapa penting dalam pembangunan e-goverment?
Software arsitektur merujuk pada struktur organisasi tingkat tinggi sistem perangkat lunak. direncanakan dengan baik, aman dan platform e-pemerintah yang fleksibel yang diperlukan bagi pemerintah untuk memenuhi meningkatnya permintaan untuk layanan yang diberikan melalui internet dan saluran-saluran penyerahan masa depan. Bangunan umum arsitektur e-government memerlukan keamanan dan sistem operational dalam terpercaya yang mengadopsi sistem internet yang ada dan World Wide Web standar untuk semua instansi pemerintah, di semua tingkatan. Hal ini sebuah pendekatan pragmatis yang akan mengurangi biaya dan risiko sistem operasi informasi teknologi sekaligus menjaga sektor publik pada langkah dengan revolusi internet global. Ide dari sebuah sistem interoperable dengan satu pemerintah berarti dalam satu lembaga yang dapat dengan mudah "berbicara dengan satu sama lain"-apakah dengan mengirim email atau bertukar informasi tanpa ada masalah teknis yang menghambat kelancaran operasi pemerintahan (Pascual, 2003:23-24). Dalam membangun arsitektur perangkat lunak dalam implementasi e-government harus sangat memperhatikan faktor keamanan karena jangan sampai data-data penting dan rahasia negara bocor dan disalah gunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
• Resiko dan manfaat memiliki kerangka kerja "open source" untuk e-government?
Perangkat lunak "Open source", seperti sistem operasi Linux, biasanya dikembangkan oleh pemprogram mendistribusikan modifikasi kode sumber secara bebas melalui Internet. Software open source adalah perangkat lunak yang dikembangkan secara bersama-sama menggunakan kode program (source code) yang tersedia secara bebas serta dapat didistribusikan kepada siapapun secara bebas pula. Software tersebut yang saat ini umum digunakan terutama untuk server suatu jaringan dimana Software tersebut selain mudah diinstalasi pada server juga mudah dikembangkan karena ada source programnya yang bersifat terbuka dan mudah didapat dipasaran. Bidang Pengembangan Informasi (Bangfogan) telah lama menggunakan software ini dan mengembangkannya untuk pengelolaan jaringan yaitu dengan menggunakan software open source berbasis Linux seperti FreeBSD untuk kelas server diantaranya untuk web server, mail server, DNS server. Namun ternyata saat ini tidak hanya kelas server saja yang mempunyai software open source, untuk desktop dan laptop kini telah tersedia software open source yang berbasis Linux seperti Redhat, Mandrage, SUSE, dll (dalam Hendy Gunawan hal 3-4, www.pussisfogan.lapan.go.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2009).
Dua karakteristik penting menetapkan perangkat lunak open source:
Satu, pengguna diberikan akses ke kode sumber, yang memungkinkan mereka untuk mengubah, belajar atau menambah kegunaan perangkat lunak.
Kedua, ada perjanjian lisensi memungkinkan distribusi awal kembali dari perangkat lunak dan perangkat lunak dalam bentuk yang dimodifikasi. Jika pengguna melakukan perubahan pada perangkat lunak, mereka dapat mengajukan ini kepada masyarakat pengembang untuk dapat dimasukkan ke dalam versi masa depan. Untuk diskusi masa depan yang lebih komprehensif dari "kerangka kerja open source", merujuk pada yang utama, Nets, Webs dan informasi infrastuktur.
Open source software memiliki beberapa keunggulan untuk sistem e-government:
1. Kemampuan perangkat lunak open source yang sebanding, dan dalam beberapa kasus unggul, mereka lebih mahal bagian kontra komersial. Dikurangi lisensi biaya rendah dan biaya hardware membuat perangkat lunak open source sangat menarik sebagai perbandingan.
2. Solusi open source memastikan interoperabilitas dan akses ke semua pengguna, meskipun mereka menggunakan platform wajarnya atau perangkat lunak open source, memungkinkan untuk kelancaran integrasi antar departemen. Memang, hak milik perangkat lunak ingin menarik dan mempertahankan pelanggan akan mendukung integrasi dengan produk luar dan mendukung standar global.
3. Benar dikonfigurasi adalah perangkat lunak open source yang aman sebagai sistem hak milik. Bahkan, beberapa pengguna menyatakan bahwa sistem yang dibangun pada perangkat lunak yang berasal dari sebuah satu vendor yang lebih rentan terhadap serangan dari sistem integrasi perangkat lunak dari sumber yang berbeda, seperti Linux. Banyak atribut ini dengan fakta bahwa buka sumber perangkat lunak merupakan karya pemrogram di seluruh dunia, baik secara sukarela dan dibayar, yang bekerja sama melalui Internet, kontribusi kerja perangkat lunak yang kode ditinjau oleh rekan-rekan mereka. Keragaman ini membuat sebagian besar tahan virus dalam kontras dengan close source software.
Berbeda dengan perangkat lunak sumber tertutup. Keterbukaan juga menjamin bahwa open source software telah sepenuhnya terjamin untuk kerentanan pengamanan. Pindah ke perangkat lunak open source dapat menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk memperciut pada pembajakan. Menurut sebagian besar diakui lisensi perangkat lunak open source, itu adalah hal yang dapat diterima untuk membeli satu salinan perangkat lunak dan menginstalnya pada sejumlah mesin, atau download secara gratis di bagian Internet.
Namun, ada juga risiko dalam penggunaan perangkat lunak open source.
1. Bahwa preferensi untuk perangkat lunak open source dapat menyebabkan instalasi produk tidak cocok untuk kebutuhan pengguna. Biaya tidak memenuhi kebutuhan penting untuk e-government dan aplikasi lain yang dapat lebih besar dari yang menyimpan sebenarnya dari menggunakan open source.
2. Ketika faktor pemerintah dalam biaya mencari dukungan teknisi dan mengembangkan fungsi tambahan aplikasi software, open source sebenarnya mungkin biaya lebih dari hak milik software.
Resiko lain-lain yang terkait dengan penggunaan perangkat lunak open source yang prihatin dengan hak cipta dan paten, tanggung jawab, kualitas dan keamanan (Pascual, 2003:24-25). Di Indonesia sendiri pemerintah menerapkan kebijakan tentang penggunaan open source yaitu dengan diluncurkannya program Indonesia Goes Open Source (IGOS). IGOS merupakan suatu upaya nasional dalam rangka memperkuat sistem teknologi informasi nasional serta pemanfaatan perkembangan teknologi informasi global melalui pengembangan dan pemanfaatan Open Source Software (OSS) yang dideklarasikan pada tanggal 30 Juni 2004. Penggunaan dan pengembangan Open Source Software yang ditandatangani oleh: Menteri Riset dan Teknologi, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Kehakiman dan HAM, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Menteri Pendidikan Nasional (Hendy Gunawan, hal. 5. www.pussisfogan.lapan.go.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2009). Kebijakan program Indonesia Goes Open Source (IGOS) bertujuan meningkatkan akselerasi pendayagunaan Open Source Software (OSS) dan memperkuat upaya infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Untuk itu komunitas TIK khususnya pengguna dan pengembang OSS beserta, pemerintah, kaum profesional dan pelaku bisnis mendirikan pusat kegiatan yang berhubungan dengan OSS di kota Bandung dengan nama: IGOS Center Bandung. Dengan Visi: Menjadi penyedia secara “One Stop Service” untuk produk dan jasa yang berbasis teknologi "Open Source Software" (OSS). Dengan target untuk perbaikan daya saing bangsa secara Sistemik dengan memanfaatkan pendekatan Open Innovation (OI) ( http://e-pemerintah.com/, Diakses tanggal 15 Agustus 2009). Tujuan dengan adanya IGOS adalah :
1. Memperkecil kesenjangan teknologi informasi dengan memanfaatkan OSS baik tingkatan masyarakat di Indonesia maupun tingkatan global.
2. Meningkatkan inovasi/kreatifitas pengembang perangkat lunak nasional.
3. Mendorong, meningkatkan dan menciptakan program-program pemerintah bidang teknologi informasi skala nasional yang berdampak pada :
- politis (percepatan program e-government);
- ekonomi (penghematan devisa dalam pengadaan lisensi, stimulasi pengembangan industri Teknologi Informasi, peningkatan industri software dalam negeri);
- sosial dan budaya (peningkatan jumlah pengguna komputer, pelatihan, akses informasi);
- pendidikan (iptek; e-learning; e-library);
- hankamnas (pertukaran informasi/traffcking lebih terlindungi).
Manfaat IGOS bagi pengguna adalah:
- Memberikan alternatif pilihan perangkat lunak desktop maupun laptop yang legal, murah dan mudah didapat.
- meningkatkan pengetahuan tentang teknologi informasi dan meningkatkan akses informasi pengguna sehingga memperkecil kesenjangan teknologi informasi.
- Meningkatkan kreativitas dalam mengembangkan dan memanfaatkan informasi teknologi (kreativitas tidak dibatasi oleh software yang ada).
Namun demikian penerapan OSS melalui software IGOS tidaklah mudah dilaksanakan hal itu terjadi karena masih belum terbiasanya pengguna (end user) dalam penggunaan software tersebut dan masih adanya peripheral yang belum kompatibel saat ini dengan IGOS seperti : kamera, LCD, scanner, printer dll. Sehingga pengguna enggan untuk menggunakan software tersebut (Hendy Gunawan, hal. 5. www.pussisfogan.lapan.go.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2009).
Untuk kasus penerapan Software open source dengan mengacu pada kebijakan IGOS, kita dapat memberikan contoh penerapan IGOS di LAPAN (Hendy Gunawan, hal. 6-9. www.pussisfogan.lapan.go.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2009). Salah satu software open source yang telah dikembangkan secara spesifik yaitu IGORSOS (Indonesia Goes Open Remote Sensing Open Source) adalah komunitas pengguna dan pengembang software open source untuk Penginderaan Jauh Indonesia). Software open source tersebut dikembangkan khusus untuk kegiatan remote sensing (penginderaan jauh) dan dikembangkan oleh beberapa instansi (LAPAN, ITB, MAPIN, dll.). Dengan software tersebut kebutuhan software aplikasi yang spesifik dapat terpenuhi sehingga siapa saja pengguna dapat memintanya tanpa dipungut biaya serta dapat mengembangkannya kembali karena sifatnya yang ”open source”. Pengguna komputer di LAPAN Pusat yang sebagian besar masih menggunakan komputer rakitan memanfaatkannya untuk kegiatan administratif, namun saat ini masih ada yang menggunakan software yang belum berlisensi, hal itu disebabkan karena pada saat pembelian komputer jenis rakitan tersebut tidak disertai dengan software yang berlisensi, walaupun komputer rakitan menggunakan software lisensi pasti harganya lebih mahal dari pada yang tidak. Hanya sebagian kecil komputer telah menggunakan software secara legal yaitu software berbasis windows khususnya di bidang Bangfogan hal itu terjadi karena pada saat pembelian komputer selalu membeli komputer yang branded dimana sudah tersedia/include dengan software yang dibutuhkan. Keutungan pembelian komputer yang sifatnya branded selain sudah tersedia software yang berlisensi juga umumnya komputer tersebut handal tidak cepat rusak dan kompatibel baik dengan software aplikasi tertentu dan juga dengan hardware lainnya.
Untuk mengatasi penggunaan komputer rakitan yang masih menggunakan software ilegal dapat diganti dengan menginstalasi software open source tersebut, salah satunya dengan IGOS. Dengan demikian komputer yang ada di LAPAN Pusat dapat dijalankan dengan software yang bebas untuk digunakan. Fungsi software IGOS sama halnya seperti software windows dapat melakukan apa yang kita butuhkan terutama dalam penggunaannya untuk administratif (mengolah kata, kalkulasi dan presentasi).
Keunggulan software open source apabila diterapkan di LAPAN antara lain :
- perangkat lunak tersebut dapat didistribusikan secara bebas
- kode program perangkat lunak tersebut dapat didistribusikan dalam bentuk awal dan pekerjaan yang diturunkannya.
- Dapat dimodifikasi dan dikembangkan lebih lanjut secara bebas sesuai kebutuhan.
- Tidak ada perbedaan lisensi perorangan maupun kelompok (corporate).
- Tidak ada perbedaan peruntukan penggunaan
- Dapat berupa OSS pada Operating System (Linux) atau aplikasi lainnya
- Software open source tidak pernah terkena virus komputer walaupun tidak menggunakan anti virusnya.
- Data yang menggunakan software windows dengan mudah dapat dikenali dan dibaca oleh OSS IGOS
Namun demikian masih terdapatnya kelemahan penerapan dari software open source khususnya IGOS, antara lain :
- Masih banyak software aplikasi yang belum jalan/beroperasi pada software open source (IGOS). Karena pada umumnya software aplikasi yang tersedia di pasaran masih berbasis windows.
- Software open source lebih lama diinstalasi dan memerlukan banyak kebutuhan spesifikasi perangkat keras yang lebih tinggi (RAM, Harddisk, processor).
- Untuk membuka suatu aplikasi pada open source cukup lama dibandingkan software yang ada sekarang.
- Pengguna sudah terbiasa menggunakan software yang ada (windows) sehingga untuk berpindah ke system yang baru merasa enggan karena tidak terbiasa.
- Belum tersosialisasinya secara menyeluruh penggunaan software open source khususnya IGOS di LAPAN
Kelemahan-kelemahan yang ada pada software IGOS tersebut akan semakin diperkecil dengan terus mengupayakan kekurangannya oleh pengembang software tersebut dimana kini sudah tersedia software IGOS dengan versi yang terbaru. Walaupun masih adanya kekurangan-kekurangan dibandingkan dengan software windows namun IGOS mempunyai manfaat lain yaitu :
• Manfaat penggunaan IGOS bagi LAPAN yaitu :
- memperkecil biaya pembelian perangkat lunak khususnya untuk OS dan sistem aplikasi desktop dan sistem jaringan.
- Memberi peluang untuk pengembangan perangkat lunak dalam permasalahan spesifik
- Meningkatkan keterbukaan dan faktor keamanan sistem
- Memperkecil duplikasi pembuatan aplikasi/solusi sejenis
- Mengurangi ketergantungan terhadap suatu vendor tertentu
- Mengembangkan kemampuan sumber daya manusia di bidang teknologi informasi di LAPAN
- Kemudahan untuk berkonsultasi dengan pihak pengembang apabila ada sesuatu yang belum dapat berjalan/beroperasi atau sesuai yang belum diketahui.
Dilihat dari besarnya manfaat yang diperoleh apabila menggunakan software IGOS tersebut, maka LAPAN perlu melakukan strategi agar dapat segera diterapkan dan dimanfaatkan oleh pengguna. Strategi penerapan software open source tersebut adalah :
- sosialisasi Software Open Source di LAPAN yang dalam hal ini dapat diambil sebagai contoh untuk aplikasi perkantoran yaitu dengan menggunakan software IGOS.
- dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dengan tetap pada orientasi pada pencapaian target.
- LAPAN Pusat melalui Bangfogan (Unit IT LAPAN) berperan sebagai suri-tauladan dalam penerapan OSS bagi Unit Kerja lainnya di lingkungan LAPAN sebagai pengguna OSS.
- melakukan demo dan training baik dalam penginstalasian maupun pengoperasian serta perawatan.
- pendekatan yang tidak berpihak (netral) : tidak ada pemihakan antara OSS dengan sistem perangkat lunak lainnya (windows).
Sumber:
 Juanidi. 2005. E-Government Dalam Bingkai Reformasi Administrasi Publik Menuju Good Government. JKAP MAP UGM, Volume 9, Nomor 1 Mei 2005.
 Pascual, Patricia J. 2003. E-Government. E ASEAN Taks Force. UNDP-APDIP.
 Saragih, Ferdinand D. 2006. Menciptakan Pelayanan Publik Yang Prima Melalui Metode Benchmarking Praktis. Jurnal Bisnis & Birokrasi Fisip UI. No. 03/Vol. XIV/September/2006.
 Wahyuni, Sri dan Endarwanto, Bagus. 2008. Implementasi Digital Government Service Pada Bidang Pendidikan di Pemerintah Provinsi DIY. JKAP MAP UGM Volume 12, Nomor 1 Mei 2008 hal 61-82.
 Gunawan, Hendy.______. KEMUNGKINAN PENERAPAN SOFTWARE OPEN SOURCE (OSS) DI LAPAN. www.pussisfogan.lapan.go.id. Diakses tanggal 15 Agustus 2009.
 http://e-pemerintah.com/, Diakses tanggal 15 Agustus 2009

Selasa, 19 Januari 2010



Ada Apa Dengan Administrasi Negara-Negara Miskin Sehingga Muncul Istilah Administering To The Poor???

(Direview dari: Administering To The Poor (Or, If We Can’t Help Rich Dictators, What Can We Do For The Poor?) By John D. Montgomery)

Selama ini bantuan yang diberikan oleh negara-negara pendonor tetap tidak begitu membantu negara-negara miskin untuk bisa maju sejajar dengan negara-negara kaya. Meskipun usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara kaya untuk membantu negara-negara miskin sudah berlangsung lama dan telah berhasil tetapi tetap saja mengalami permasalahan. Karena yang dibutuhkan oleh negara-negara miskin bukanlah cuma bantuan modal atau bantuan teknis saja tetapi bagaimana membantu permasalahan administrasi yang buruk pada negara-negara miskin. Bantuan yang diberikan tidak sekedar untuk mendapat simpati saja tetapi juga harus memiliki harapan dan keinginan untuk meningkatkan kemajuan internasional, negara-negara kaya harus membangun hubungan kolaboratif yang membangun untuk kemajuan pembangunan dan ekonomi satu sama lain.
Administering the poor sendiri bisa didefinisikan dengan upaya menentukan dan menyesuaikan serangkaian masalah-masalah pada administrasi yang tidak sempurna di dalam program-program pemerintah di negara lain, yang dimana bantuan konvensional administrasi publik masih dibutuhkan. Jadi bagaimana membantu menyelesaikan masalah-masalah administrasi yang buruk yang mengakibatkan program-program bantuan yang diberikan oleh negara-negara kaya kepada negara-negara miskin tidak berjalan dengan semestinya.
Mencari keuntungan yang cocok merupakan tugas utama dari perkembangan diplomasi. Pilihan akhir seringkali melibatkan pertukaran dan kerjasama dalam jangka panjang, keuntungan tinggi yang bersifat sementara, tetapi apa yang didapatkan tidaklah signifikan. Hal inilah yang merupakan keputusan yang sangat penting. Jika program yang dipilih salah, seperti yang terjadi di Iran dan Vietnam, maka kerugian bagi kedua belah pihak akan cukup besar. Kegagalan dapat disebabkan oleh sistem administrasi yang buruk, tetapi keputusan untuk menggunakan bantuan pembangunan untuk membantu pemerintah yang tidak memiliki sistem administrasi yang baik akan lebih harus diutamakan daripada hanya mengharapkan hasil.
Keberhasilan terbesar di dalam bantuan luar negeri telah muncul pada keberadaan dua fitur berikut ini:
1. Konteks politik dengan tujuan kerjasama mutual, yang dimana kedua pihak dapat memikirkan tujuan-tujuan jangka panjang,
2. Perhitungan keuntungan yang tepat dan sesuai dengan apa yang diharapkan bagi kedua belah pihak.
Contoh cerita-cerita keberhasilan yaitu transfer teknologi, yang dimana teknologi dapat meningkatkan pertanian dan industri di negara-negara yang kurang maju, hal ini membawa keuntungan yang cukup lumayan melalui revolusi hijau dan industri-industri di Asia, selain itu, hal ini juga meningkatkan aliran perdagangan internasional. Sangatlah benar bahwa keberhasilan ini memiliki sisi yang cukup gelap: yaitu urbanisasi prematur yang mengikuti pembangunan industri, ketidakpuasan akan cepatnya perubahan dan ketimpangan, dan menurunnya transaksi perdagangan internasional. Tetapi dampak yang paling parah bisa dicontohkan dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh rezim Kennedy-Johnson-Nixon-Carter, dimana mereka menggunakan bantuan luar negeri untuk menciptakan “stabilitas” secara langsung dengan meningkatkan sub-sistem administrasi pusat dan mereka juga mengorbankan tujuan-tujuan pembangunan hanya demi kepentingan keamanan nasional. Dengan demikian, walaupun keberhasilan bisa diraih, seperti contohnya dengan menumpas rezim komunis di Vietnam dan Iran selama satu dekade, tetapi sebenarnya usaha Amerika tersebut gagal jika dilihat dari upaya mereka yang mendiskreditkan bantuan internasional.
Pada akhir-akhir ini, PBB, Kongres Amerika Serikat, Bank Dunia, dan kader para pemimpin nasional mulai secara serius mencara cara untuk menurunkan angka kemiskinan tanpa merusak prospek-prospek yang ada di masyarakat. Para aktor dunia ini masih membutuhkan untuk mengembangkan serangkaian prinsip-prinsip administrasi pembangunan yang tepat yang dapat melayani masyarakat. Dengan mengaplikasikan prinsip-prinsip ini sebenarnya tidak akan menjadi lebih sensitif di dalam konteks internasional, apalagi usaha-usaha tidakbelaskasihan dengan membentuk kekuatan polisi atau memberikan kekuatan pada para pemungut pajak di negara-negara berkembang. Tetapi, hal ini akan menjadi pengalaman tidak hanya pada tradisi administrasi publik barat, dan dengan demikian hal tersebut memiliki resiko kegagalan yang lebih besar. Tetapi setidaknya, usaha-usaha tersebut di dalam program-program bantuan teknis untuk membawa keuntungan kepada negara-negara miskin dapat dibanggakan jika mereka berhasil, seperti yang tidak pernah mereka rasakan pada kasus Iran ataupun Vietnam. Dan bahkan jika mereka gagal, situasi akan menjadi lebih parah. Dengan demikian, keberhasilan di dalam sasaran-sasaran yang tidak tepat di Iran itu bisa dikatakan lebih bersifat menyeramkan daripada dikatakan sebagai sebuah kegagalan didalam usaha untuk memberantas kemiskinan.
Masalah-masalah khusus dari pengembangan sumber daya manusia dapat dikelompokan kedalam enam kategori:
1. Masalah-masalah tersebut melibatkan rancangan dan manajemen proyek-proyek yang baru. Proyek pembangunan tradisional di dalam menyediakan barang dan jasa kepada masyarakat; proyek tersebut bisa dikatakan berjalan bila dapat mendatangkan pendapatan, atau income atau kesejahteraan yang lebih, proyek-proyek ini dirancang untuk memanfaatkan teknologi tinggi, dan proyek-proyek tersebut akan dapat diimplementasikan dengan baik ketika dapat melibatkan peran pemerintah standar. Dan akan dianggap rasional sepanjang proyek-proyek bantuan ini dapat terus melakukan pengembalian investasi.
2. Masalah-masalah ini harus sesusai dengan “jarak kognitif” yang memisahkan para administrator dari masyarakat. Salah satu masalah yang cukup serius di dalam mengadministrasikan negara miskin adalah kesulitan aparatur administrasi di dalam memahami kebutuhan-kebutuhan mereka, dan persepsi masyarakat serta keadaan geografis yang menciptakan jarak antara publik dan aparatur semakin jauh. Terdapat alasan-alasan fisik dan geografis untuk jarak kognitif ini; masyarakat miskin biasanya tinggal di wilayah-wilayah terpencil, yang dimana para aparat birokrasi sulit untuk melakukan kontak karena wilayah yang sulit dijangkau. Dan terdapat juga jarak sosial yang jauh, hal ini muncul karena adanya kesenjangan sosial, budaya, dan pendidikan yang tinggi. Kesenjangan-kesenjangan ini tidak dapat dipecahkan hanya dengan niat baik saja. Elemen-elemen ini dapat dipecahkan melalui training dan penugasan khusus di lingkungan birokrasi, ada beberapa paham yang menyatakan untuk melakukan penugasan khusus maka sistem birokrasi harus merubah sistem insentif yang berlaku di dalam administrasi. Tetapi di dalam sistem penugasan khusus, masih ada hal lain yang harus dikorbankan oleh birokrat itu sendiri, seperti lokasi yang terpencil, buruknya tingkat kesehatan pemukiman di daerah terpencil, kurangnya pendidikan, hal-hal seperti inilah yang mungkin bisa memberatkan aparatur yang ditugasi beserta keluarganya. Gap-gap atau jarak kesenjangan yang ada memang harus dipecahkan, hal ini memang membutuhkan waktu dan usaha-usaha yang serius, dan perubahan-perubahan sangat dibutuhkan di dalam keseluruhan administrasi secara holistik untuk menurunkan tingkat kemiskinan.
3. Adanya kebutuhan akan proyek-proyek skala kecil seperti halnya pendekatan-pendekatan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan. Pilihan para perencana dan pendonor untuk aktifitas-aktifitas skala besar tidaklah berubah secara drastis: para perencana dan pendonor mengekonomisasi pada rancangan yang sulit dan sumberdaya-sumberdaya administratif dengan mengurangi sejumlah perusahaan yang dimonitor. Bahkan biaya awal dari perizinan proyek tidak terlalu mengurangi ketika dimensi-dimensi program dikurangi. Di samping dari pertimbangan-pertimbangan administrasi ini, terdapat fakta yang tidak bisa dihindari bahwa proyek-proyek besar memang lebih impresif dan dengan demikian hal ini menghasilkan keuntungan-keuntungan jangka pendek untuk para kaum politisi. Tetapi pengalaman dengan pengurangan tingkat kemiskinan tidak mengiyakan keyakinan bahwa intervensi-intervensi skala besar akan cukup. Ketika transfer langsung mungkin dilakukan melalui program-program keamanan sosial atau program pemberian kebutuhan pangan, sistem nasional yang berbasis pada kriteria pemenuhan syarat seragam akan berfungsi, tetapi ketika batasan sumberdaya tidak mengizinkan redistribusi kesejahteraan, usaha-usaha atas nama masyarakat miskin harus ditargetkan pada mereka yang paling membutuhkan pelayanan-pelayanan dari pemerintah. Usaha penargetan tersebut membutuhkan pendiagnosaan kebutuhan, dan sejumlah besar dari proyek-proyek skala kecil harus dimungkinkan untuk meraih kelompok-kelompok masyarakat yang terisolir. Proyek-proyek multi membutuhkan perubahan-perubahan besar di dalam prosedur yang digunakan untuk memilih, merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi aktifitas-aktifitas publik.
4. Masalah-masalah khusus pembangunan sumber daya manusia tergantung pada lingkungan, dan juga sumberdaya-sumberdaya administrasi pusat. Sistem administrasi pusat yang tersentralisir tidak dapat mencakup dengan sejumlah proyek-proyek kecil yang dibutuhkan untuk memperoleh respon dari kelompok-kelompok masyarakat yang sulit dijangkau dan kurang beruntung. Tetapi jika pemerintah lebih disandarkan pada sistem desentralisasi, mereka harus mengaplikasikan standar dan performa yang baru di lapangan. Perubahan pada performa di lingkungan sangatlah sulit untuk diwujudkan; perubahan-peruabahan perlu mengikuti apa yang dikomandokan dari pusat. Peningkatan kualitas seperti contohnya reformasi pelayanan publik di kalangan negara-negara baru di PBB mungkin telah meningkatkan efisiensi di banyak instansi-instansi pemerintahan pusat, tetapi di lapangan, pengaruh mereka tidaklah berarti. Proyek-proyek ‘gaya baru’ akan membutuhkan perubahan luas pada perilaku dan sistem yang ada di birokrasi lokal dan juga di birokrasi pusat. Pemerintah harus mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan publik akan pelayanan-pelayanan baru, mereka juga harus memanajeman usaha-usaha kecil di tingkat lokal untuk mengetahui sumberdaya-sumberdaya apa yang tersedia di daerah-daerah. Pemerintah harus merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi program-program dengan menggunakan standar-standar dan prosedur-prosedur yang baru dan tepat.
5. Waktu yang dibutuhkan untuk melatih para aparatur akan lebih membutuhkan waktu dibanding dengan membangun bangunan-bangunan dan sarana pemerintah, hal ini berlaku juga untuk melatih para guru dibanding dengan waktu yang dibutuhkan untuk membangun bangunan sekolah. Jika kita berpijak pada pemahaman ini, akan lebih lama lagi waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pendidikan, pemberantasan malnutrisi, dan pemberantasan buta huruf. Program-program dengan sasaran-sasaran sosial seperti diatas tidak bisa diukur dengan peraihan secara fisik saja, krteria kesejahteraan membutuhkan analisis perilaku masyarakat. Relatif terhadap keterlibatan pendanaan dan ukuran masyarakat yang dilayani, proyek-proyek pembangunan sumber daya manusia adalah proyek-proyek yang bisa dikatakan sebagai proyek jangka panjang. Permasalahan-permasalahan di atas cukup membuat para pihak donor internasional dan para perencana pembangunan menjadi bingung atau dilema: kerangka waktu yang panjang bagi dukungan proyek, perlu adanya eksperimen-eksperimen operasi, dan harus adanya niat baik untuk menyediakan pendanaan awal dan investasi untuk mencegah terhentinya implementasi program-program yang berjalan.
6. Adanya kebutuhan akan penggunaan sumberdaya-sumberdaya administratif yang tidak konvensional. Karakteristik-karakteristik sudah dijelaskan yang menyarankan kebutuhan untuk memperluas kinerja administrasi sehingga dapat meraih wilayah-wilayah yang terisolir, dan untuk menjangkau masyarakat tertentu yang lebih membutuhkan. Jenis pelayanan pembangunan sumberdaya manusia ini sangatlah membutuhkan hubungan intensif dengan masyarakat karena masyarakat terus mengalami dinamika perilaku, yang membutuhkan sistem pelayanan pendidikan yang adaptif. Tetapi birokrasi yang formal dan hirarkis tidaklah cocok untuk memainkan peranan sistem yang adaptif; beberapa masalah pun akan muncul seperti biaya untuk mengaplikasikan pelayanan-pelayanan yang adaptif, prosedur-prosedur yang harus selalu baru, dan lain-lain. Sistem birokrasi pusat memiliki peran untuk melakukan pelayanan terhadap kelompok masyarakat tertentu, tetapai sistem birokrasi ini harus mengembangkan sumberdaya-sumberdaya administrasi yang ada untuk melahirkan sistem administrasi yang baru.
Mungkin, peran terbaik yang bisa dimainkan oleh birokrasi untuk mencari cara supaya sistem administrasi dan pelayanan publik yang mereka lakukan menjadi lebih ekstensif atau luas adalah dengan merekrut, melatih, membimbing, menggunakan pihak profesional, dan untuk menggunakan pengetahuan manajemen sumberdaya publik, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kelompok sukarelawan yang mau membantu mengimplemetasikan program pemberantasan kemiskinan, dan yang terpenting, adalah untuk membantu organisasi-organisasi yang sudah ada dan sudah eksis telah melaksanakan program pemberantasan kemiskinan. Karena para organsisasi yang berkomitmen ini biasanya memberikan bimbingan pada manajemen internal mereka dan menyediakan informasi mengenai sumberdaya-sumberdaya yang mungkin tersedia untuk pembangunan dan pengembangan lebih lanjut. Organisasi-organisasi ini juga bisa berperan sebagai perantara antara organisasi-organisasi informal di lapangan dengan pemimpin politik dan administrasi yang berada di pusat, hal ini dilakukan sebagai hubungan yang saling menguntungkan.
Semua dari perluasan usaha sistem administrasi telah diterapkan pada program-program pembangunan sumberdaya manusia dan pemberantasan kemiskinan, dan ketika meraih keberhasilan, hal ini bisa menyediakan pelayanan dan kesuksesan yang tidak bisa didapat melalui birokrasi konvensional. Tetapi sumberdaya-sumberdaya administrasi ini sulit untuk dikembangkan dan sulit untuk diatur.
Tidak ada sistem administrasi yang akan mudah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan di atas. Secara individu, keenam masalah ini dapat dipecahkan melalui perubahan di dalam kebijakan publik atau kebijakan administrasi dengan tanpa memberikan dampak terhadap performa pemerintah. Proyek-proyek dan program-program dapat dirancang dengan lebih menitikberatkan pada respon masyarakat; komitmen yang panjang untuk pendanaan proyek dapat berasal dari persetujuan antara pemerintah denan donor internasional; proyek-proyek kecil dapat dilakukan secara lokal dan didukung oleh sistem perencanaan nasional; peningkatan administrasi pada permukaannya merupakan proses yang lambat tetapi merupakan konsekuensi yang alami dari prosedur yang lebih baik; persepsi administrator yang berubah-ubah akan kebutuhan dan kapasitas masyarakat miskin dapat diambil seperti struktur birokrasi untuk merespon. Tiap persyaratan ini sangatlah mungkin walaupun bersifat menyulitkan. Masalah nyata adalah peningkatan utama di dalam pembangunan sumberdaya manusia tidak akan muncul sampai semuanya diraih dengan sukses. Hal ini merupakan kombinasi dari masalah-masalah ini yang membutuhkan pendekatan berbeda yang khusus di dalam mengatur negara-negara miskin.
Pemecahan masalah-masalah ini secara terpisah akan memunculkan kontradiksi dan ketidakkomptibelan yang tidak dapat direkonsiliasikan dengan peningkatan marjinal dan incremental. Sebagai contoh, perancangan kembali proyek-proyek yang dijalankan yang memperoleh respon positif dari tiap kelompok masyarakat tertentu adalah operasi administrasi yang intensif. Pada sistem konvensional, hal ini akan lebih membutuhkan keahlian dan penggunaan insentif performa yang lebih luas dibanding yang biasanya tersedia untuk pelayanan publik; semakin besar birokrasi tumbuh untuk mendesain kembali proyek-proyek dan mengadministrasi para personel untuk tujuan-tujuan ini maka birokrasi akan semakin mampu untuk berdiri sendiri. Semakin banyak proyek-proyek kecil yang ada di dalam sistem –seperti yang dibutuhkan oleh misi penjangkauan masyarakat tertentu– maka akan lebih sulit untuk memelihara komitmen jangka panjang dan untuk mengendalikan kualitas dan keadilan dari operasi-operasi proyek-proyek yang sudah dilakukan. Jika administrasi semakin melibatkan pada partisipasi lokal, maka lingkungan sistem administrasi akan semakin kuat, yang dimana bisa memunculkan banyak inovasi. Pendeknya, usaha-usaha untuk mengatur masyarakat miskin termasuk didalamnya kebutuhan akan investasi berorientasi respon atau daya tanggap yang membutuhkan kebutuhan akan proyek-proyek administrasi yang intensif; penggunaan proyek-proyek skala kecil yang membutuhkan pendekatan proyek administrasi intensif; kepercayaan terhadap pada sumberdaya-sumberdaya administratif yang mengancam standar profesional dari manajemen inti; kebutuhan kerangka waktu yang lebih panjang yang membutuhkan derajat keprofesionalan yang lebih tinggi dan pada saat yang bersamaan mengurangi kapasitas diskresionary administrator lokal untuk merespon secara kreatif untuk merubah kebutuhan-kebutuhan proyek; penggunaan organisasi-organisasi infomral sebagai bantuan untuk administrasi yang menantang otoritas dari manajer lingkungan dan pusat; kebutuhan untuk mengurangi jarak kognitif antara ofisial pemerintah dan masyarakat miskin yang membutuhkan kontak yang lebih dekat antara dua elemen ini.
Solusi sepertinya menyediakan fleksibilitas untuk menimbang keterlibatan desentralisasi pembuatan keputusan. Tujuan adalah untuk menciptakan penggunan otoritas yang lebih bijak. Desentralisasi ini adalah sebuah kesulitan politis dan terkadang tampak tidak mungkin, tetapi hal ini adalah sebuah pra kondisi untuk lebih disempurnakan lagi. Hanya ketika para perencana pembangunan disiapkan untuk berbagi otoritas pembuatan keputusan mengenai desain proyek, implementasi, dan alokasi dana, maka mungkin untuk menciptakan proyek-proyek besar dan melibatkan organisasi-organisasi masyarakat di dalam aktifitas pembangunan. Dekonsentrasi juga memberikan otoritas pusat, waktu yang lebih panjang dari kesepakatan di dalam rincian proyek akan terwujud jika fungsi-fungsinya bisa berjalan. Hal ini tentu saja tidak bisa mengurangi jarak kognitif antara otoritas pusat dengan masyarakat tertentu, tetapi hal ini menyediakan insentif untuk administrator untuk melakukan hal tersebut karena mereka telah mengambil tanggungjawab atas hasil dari proyek.
Pentransferan kebijakan-kebijakan pembangunan kepada yuridiksi lokal juga berlaku di lembaga-lembaga perencana nasional. Permasalahan-permasalahan di hampir seluruh provinsi dan kabupaten tertentu dimanajen secara tidak efisien, dan hal ini hanya bisa diharapkan adalah dengan sentralisasi. Tren terhadap sentralisasi memiliki usia yang sudah cukup lama, berawal dari kejayaan “negara-nasional” yang menggulingkan sistem feodalisme dan kota-kota berbenteng. Hal ini merupakan penangkal untuk konflik kepentingan politik dan prioritas-prioritas yang dapat merintangi pembangunan nasional.
Tidak ada inkompatibilitas tujuan antara program pusat dan program daerah akan pembangunan sumberdaya manusia, hal ini berbeda dengan program-program lainnya seperti contohnya program-program pembangunan fisik atau pemeliharaan standar pendidikan dan ketenagakerjaan.
Desentralisasi yang efektif tidak dapat diraih dengan hanya satu tindakan. Hal ini membutuhkan serangkaian keputusan pentransferan kewenangan yang dilakukan secara hati-hati. Keputusan-keputusan ini dapat mengikuti beberapa tahap alternatif, dimulai dengan eleminasi prosedur untuk mengeluarkan dana bagi proyek yang sudah disetujui, atau dengan penugasan tanggungjawab untuk proyek-proyek pengembangan yang didanai secara otomatis oleh finansial yang terencana. Tahap ketiga, untuk meningkatkan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia secara lokal dengan memperluas basis pajak pada pemerintahan lokal sehingga pemerintahan lokal dapat menjalankan program-program yang sudah terancang atas usaha mereka, tetapi hal ini sangat jarang tersedia di negara-negara berkembang. Alternatif pertama melibatkan pendanaan pusat dan dengan demikian membutuhkan prosedur-prosedur baru untuk mengontrol atau mengaudit: desentralisasi biasanya melibatkan prosedur-prosedur sederhana dan lebih tidak terlalu administratif. Keduanya memiliki resiko baik kepada agen donor maupun kepada pemerintah lokal.
Dimensi dari program-program baru ini membutuhkan perubahan yang drastis di dalam kebijakan bantuan internasional. Mungkin, kekuatan Amerika Serikat yang sedang cenderung mengalami penurunan sedang menghadapi tuntutan serius, yang dimana mereka tidak lagi bisa menyediakan model untuk para donor lainnya untuk ditiru. Kenyataannya adalah, potensialitas dari bantuan luar negeri tidak membuat para presiden Amerika Serikat tertarik dalam dua dekade terakhir. Jika pengurangan di dalam bantuan luar negeri terus berlanjut, maka tidak akan lagi terjadi seperti yang terjadi pada tahun 1980-an, 1960-an atau 1970-an yaitu ketika Amerika Serikat dengan tekad kuat untuk membimbing Vietnam dan Iran keluar dari keterpurukan, dan mereka pun gagal.
Dilain sisi, visi penggunaan bantuan luar negeri untuk mengadministrasi masyarakat atau negara miskin adalah dengan mengembangkan tekad yang kuat didalam agen-agen internasional. Para pengatur, investor, pendonor, dan konstituante nasional bersifat lebih toleran pada sasaran-sasaran jangka panjang. Bank Dunia dan PBB dapat mengambil pengalaman atas apa yang dialami oleh Amerika Serikat, mereka menyarankan Amerika Serikat untuk belajar mengenai kerapuhan program dan proyek-proyek pembangunan yang berorientasi elitis. Para pemerintah di negara-negara berkembang juga telah bereksperimen mengenai pendekatan organisasional yang baru yang sudah disebutkan pada artikel ini: yaitu cara baru manajemen irigasi, reformasi lahan, dan pembangunan desa, tetapi eksperimen-eksperimen ini bukanlah sistem. Implikasi dari semua ini untuk kebijakan nasional dan internasional hanyalah tahap awal.
Mengadiminitrasikan negara dan masyarakat miskin adalah fungsi yang membutuhkan komitmen politik yang kuat, bahkan harus siap melawan penolakan dari politikus dan pemerintah pusat. Penolakan ini akan muncul jika: apa yang mereka menjadi keberatan adalah fungsi-fungsi yang tidak bisa dilaksanakan secara efektif. Pendekatan akan hal ini membutuhkan para pemimpin administrasi dan politik untuk mengambil peran baru di dalam membentuk lembaga yang mampu melayani kelompok masyarakat tertentu yang tidak bisa dijangkau dengan cara birokrasi yang konvensional. Secara umum dapat disetujui bahwa ketika semua anggota masyarakat dapat meraih akses untuk melayani yang dibutuhkan untuk pembangunan sumberdaya manusia kolektif, maka performa di ranah ekonomi dan politik pun akan meningkat. Fakta tersebut memberi petujuk dominan untuk pembangunan administrasi pada tahun 1980.
Bagaimana Dengan Indonesia?
Seperti yang telah disampaikan contoh di atas bagaimana kegagalan program-program yang diterapkan di Iran dan Vietnam oleh negara-negara pendonor dikarenakan sistem yang buruk dari administrasi. Bagaimana terjadi sistem administrasi yang buruk pada negara-negara miskin? Hal ini terjadi karena beberapa hal diantaranya adalah: Pertama, pola dasar (basic pattern) administrasi publik atau administrasi negara bersifat jiplakan (imitative) daripada asli (indigenous). Jadi negara-negara berkembang, baik negara yang pernah dijajah bangsa Barat maupun tidak, cenderung meniru sistem administrasi Barat. Negara yang pernah dijajah pada umumnya mengikuti pola negara yang menjajahnya. Di negara bekas jajahan, pengorganisasian jawatan-jawatan, perilaku birokrat, bahkan penampilannya mengikuti karakteristik penjajahnya, dan merupakan kelanjutan dari administrasi kolonial, hal ini pula yang terjadi di Indonesia. Padahal adminisrtasi kolonial itu sendiri diterapkan hanya di daerah jajahan dan tidak di negara asalnya sendiri. Sehingga, berbeda dengan administrasi di negara penjajahnya, administrasi kolonial bersifat elitis, otoriter, menjauh (aloof) atau jauh dari masyarakat dan lingkungannya, serta paternalistik. Pola administrasi kolonial ini diwarisi oleh administrasi di negara-negara yang baru merdeka bahkan sampai sekarang masih menjadi ciri birokrasi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh karena itu negara-negara berkembang haruslah mempunyai basic pattern sendiri yang berasal dari kearifan lokal yang ada pada daerah tersebut misalnya sekarang yang sedang diterapkan di Kebumen yang mengkolaborasikan nilai spiritualisme dalam visi dan misinya.
Kedua, birokrasi di negara berkembang kekurangan (deficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Dalam jumlah justru sebaliknya, birokrasi di negara berkembang mengerjakan orang lebih dari yang diperlukan (overstaffed). Yang justru kurang adalah administrator yang terlatih, dengan kapasitas manajemen (management capacity), keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills), dan penguasaan teknis (technical competence) yang memadai. Pada umumnya keadaan ini mencerminkan kondisi atau taraf pendidikan suatu negara. Namun, tidak selalu berarti terkait dengan kurangnya fasilitas pendidikan atau orang-orang yang berijasah, maksudnya banyak orang berpendidikan tinggi tetapi mengganggur. Keadaan itu juga berlaku di Indonesia dewasa ini, yakni pengangguran orang berpendidikan cukup tinggi, seringkali disebabkan oleh pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau dihasilkan oleh lembaga pendidikan yang tidak berkualitas (marginal institutions). Ketiga, birokrasi lebih berorientasi kepada hal-hal lain dari pada mengarah kepada yang benar-benar menghasilkan (production directed). Dengan kata lain, birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding pencapaian sasaran-sasaran program. Yaitu preferensi birokrat atas kemanfaatan pribadi (personal expediency) ketimbang kepentingan masyarakat (public-principled interest). Kemudian dari sifat seperti ini lahir nepotisme, penyalahgunaan kewenangan, korupsi, dan berbagai penyakit birokrasi, yang menyebabkan aparat birokrasi dinegara berkembang pada umumnya memiliki kredibilitas yang rendah, dan dianggap tidak mengenal etika. Dibanyak negara berkembang, korupsi telah merajalela sedemikian rupa sehigga menjadi fenomena yang sangat prevalent dan diterima sebagai sesuatu yang wajar. Hal ini pula berlaku di Indonesia, korupsi sudah menjadi hal yang wajar dan sangat susah untuk diberantas meskipun ada lembaga khusus yang menanggani masalah korupsi yaitu KPK, malahan untuk saat ini KPK sedang mengalami permasalahan yang pelik dengan Polri yang merupakan usaha untuk mengkerdilkan KPK.
Keempat, adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang dinyatakan atau yang hendak ditampilkan dengan kenyataan (discrepency between form and reality). Yaitu sebuah fenomena umum yang disebut sebagai formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang kepada wujud-wujud dan ekspresi-ekspresi formal dibanding yang sesungguhnya terjadi. Hal ini tercermin dalam penetapan perundang-perundangan yang tidak mungkin dilaksanakan, peraturan-peraturan yang dilanggar sendiri oleh yang menetapkan, memusatkan kekuasaan meskipun resminya ada desentralisasi dan pendelegasian kewenangan, melaporkan hal yang baik-baik dan tidak mengetengahkan keadaan yang tidak baik atau masalah yang sesungguhnya dihadapi. Bahkan tidak jarang memalsukan atau memanipulasi data untuk memberi gambaran yang menguntungkan. Bahkan data-data yang diberikan kepada negara-negara pendonor seringkali tidak sesuai dengan realita yang ada karena dianggap sebagai sebuah formalitas saja.
Kelima, birokrasi dinegara berkembang acap kali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat. Ciri ini merupakan warisan administrasi kolonial yang memerintah secara absolut, atau sikap feodal dalam zaman kolonial yang terus hidup dan berlanjut setelah merdeka. dibanyak negara berkembang, pada awalnya orang yang paling terpelajar atau elite bangsa yang bersangkutan memang berkumpul di birokrasi, sehingga kelompok di luar itu sulit dapat menandingi birokrasi dalam pengetahuan mengenai pemerintahan dan akibatnya pengawasan menjasi tidak efektif. Hal ini juga berlangsung di Indonesia yaitu birokrasi sangat dan makin bertambah birokratik. Departemen-departemen, badan-badan, dan lembaga-lembaga birokrasi berkembang terus. Juga berkembang dan berperan besar badan-badan para-statal yakni badan-badan usaha negara, yang umumnya bekerja tidak efisien. Kemudian unsur-unsur nonbirokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan keluarga dan hubungan-hubungan primordial lain, seperti suku dan agama, dan keterkaitan politik (political connections) mempengaruhi birokrasi, yang sangat bertentangan dengan asas birokrasi yang baik (misalnya menurut kriteria Weber). Contoh yang nyata adalah yang terjadi di Universitas kita yang tercinta Univesitas Jendral Soedirman, bahwa birokrasi di Unsoed masih menganut paham kekeluargaan dan hubungan primordial yang lainnya sehingga muncul anekdot Unsoed adalah “Universitas Saudara” sebab untuk pegawai-pegawai di manajemen Unsoed masih ada hubungan kekeluargaan.
Di Indonesia karena administrasi yang dijalankan buruk maka banyak terjadi kegagalan dengan program-program yang telah diterapkan oleh negara-negara pendonor. Hal ini terjadi karena kebijakan-kebijakan yang diminta negara pendonor tidak mampu diformulasikan dan diimplementasikan dengan baik oleh birokrasi negara berkembang (administrative incapacity). Sebab kebijakan yang dirumuskan tidak jelas dan tidak didasari asumsi yg realistik, kemudian manajemen yang buruk karena tidak terintegrasi dengan baik satu dengan yang lainnya dan lingkungan sosial ekonomi yang tidak kondusif seperti terdapat perda yang kontra dengan tujuan program. Selain itu struktur administrasi yang overly centralized yang diakibatkan oleh tingkat pendidikan birokrat yang rendah sehingga menyebabkan kontrol pusat tinggi, kurang percaya terhadap kemampuan birokrat, dan imbas sisa-sisa praktik administrasi kolonial serta diakibatkan juga oleh kebijakan desentralisasi tidak efektif karena ketergantungan daerah terhadap pusat tetap tinggi dan yang terakhir adalah disebabkan oleh distorsi model birokrasi Weber yaitu terlalu mendewakan birokrasi Weber sebagai bentuk birokrasi yang terbaik dan sempurna.
Maka untuk memperbaiki keadaan tersebut muncul administrering to the poor yang sebenarnya adalah suatu konsep dalam pembangunan dimana dibutuhkan pembaharuan dalam administrasi pada negara-negara miskin agar program-program yang diterapkan oleh negara-negara kaya bisa sukses dan berhasil. Untuk itu maka dibutuhkan perubahan di dalam kebijakan publik atau kebijakan administrasi dengan tanpa memberikan dampak terhadap performa pemerintah. Terdapat sebuah analisis yang lebih mutakhir mengenai keadaan administrasi di negara-negara miskin yang menunjukkan bahawa upaya memperbaiki kinerja birokrasi negara harus meliputi ketanggapan (responsivenes) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumberdaya, dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu parbaikan meliputi peningkatan keterampilan atau penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan atau pengelompokan kembali (realigment) fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanizing management), dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan, serta cara rekrutmen yang harus lebih bersifat representatif.
Namun demikian pembaharuan memerlukan semangat yang tidak mudah patah. Semangat dan tekad diperlukan untuk mengatasi inersia birokrasi dan tantangan yang datang dari kalangan yang dirugikan karena perubahan. Oleh karena itu, pembahruan harus dilakukan secara sistematis dan terarah, di dukung oleh political will yang kuat, konsisten, dan konsekuen. Ini berarti pula perlunya perhatian dan komitmen terhadap etika, baik dalam penerapan konsepsi maupun pengalamannya. Upaya pembaharuan tersebut tidak harus segera menghasilkan perubahan besar, tetapi dapat secara bertahap (incremental), namun konsisten.