Jumat, 23 Oktober 2009


Memanfaatkan Modal Sosial Dalam Pembangunan Berkelanjutan

(Studi Kasus Keberhasilan Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat di Banjarsari,

Cilandak Barat Jakarta Selatan)

Kajian Teori
· Pembangunan berkelanjutan
Upaya sadar dan terencana dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana bagi berbagai kegiatan manusia secara berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidupnya (dalam Soeriaatmadja, 2000:42-53).
Sustainable development is defined as development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs (Tjokrowinoto, 1996: 12)
· Pembangunan Masyarakat
Upaya yang terorganisir untuk meningkatkan tingkat kehidupan masyarakat, terutama pada kemampuan menolong diri dan upaya-upaya kerjasama dari masyarakat desa, namun dengan bantuan dari pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela (Dunham, 1962:15)
· Partisipasi masyarakat
Menurut Connor adalah suatu proses sitematik yang memberikan kesempatan bagi warga masyarakat, perencana, manajer, dan wakil-wakil rakyat untuk membagi pengalaman, pengetahuan, dan tujuan mereka dan menggabungkan energy mereka untuk meciptakan suatu rencana yang baik secara teknis, menarik secara ekonomis dan dapat dimengerti secara umum, serta diterima oleh sebagian besar orang yang terkena pengaruh rencana tersebut (Du Bois, 2001: hal 8).
Sedangkan menurut Battacharyya mengartikan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama (Ndraha, 1987: 102)
· Modal social
Bentuk-bentuk organisasi social seperti jaringan (networks), norm, dan kepercayaan social yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk manfaat bersama.
· Pengelolaan sampah berbasis masyarakat: pada dasarnya menekankan kepada pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sampah sehingga peran masyarakat menjadi lebih banyak.
Pembahasan
Di dalam pembangunan berkelanjutan, pembagunan lingkungan merupakan salah satu aspek utama dalam trilogy berkelanjutan pembangunan. Pembangunan lingkungan itu sendiri tidak akan bisa berjalan tanpa adanya pembangunan komunitas dan partisipasi masyarakat pada tingkat local. Salah satu permasalahan lingkungan di Indonesia adalah permasalahan pengelolaan sampah. Sistem pengelolaan sampah di Indonesia masih dikelola oleh pemerintah dan belum melibatkan partisipasi public serta modal sosial yang ada di dalam masyarakat. Pengelolaan persampahan yang dilakukan oleh pemerintah masih menggunakan pendekatan end of pipe solution, yang menitikberatkan pada pengelolaan sampah ketika sampah sudah dihasilkan yaitu berupa kegiatan pengumpulan, pengangukatan, dan pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan pada akhirnya hanya menggunakan metode open dumping (Dodi Ariyanto dkk, 2005:262) yaitu hanya diletakkan begitu saja di tanah. Sehingga jika dibiarkan maka lambat laun maka system pengelolaan sampah ini pasti akan mengakibatkan masalah di kemudian hari ditambah pula dengan perkiraan jumlah sampah yang di hasilkan di Indonesia pada tahun 2020 akan bertambah lima kali lipat.
Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah ini, dapat menggunakan metode pengelolaan sampah berbasis masyarakat yang melibatkan partisipasi masyarakat dan modal social yang ada. Contoh kasus adalah keberhasilan masyarakat Banjarsari di Cilandak Barat, Jakarta Selatan. Program ini bekerjasama dengan UNESCO yaitu program Green Environment dan Integrity Waste Management, yaitu bagaimana menciptakan suatu daerah yang hijau, bersih dan memiliki pengelolaan sampah terpadu. Di Banjarsari, pengelolaan sampah dilakukan dengan memperbanyak keterlibatan warga masyarakat pada tahap pemilahan sampah dan kemudian mengolah sampah organik untuk menjadi kompos yang dilanjutkan dengan penghijauan lingkungan dengan tanaman yang mempunyai nilai ekonomi seperti tanaman obat.
Keberhasilan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Banjarsari tidak lepas dari melibatkan partisipasi masyarakat dengan dukungan modal social yang ada. Pengelolaan sampah yang biasanya dikelola oleh pemerintah beralih dengan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengelolaannya. Partisipasi masyarakat memiliki peran yang penting mengingat bahwa manusia memiliki peran ganda dalam pengelolaan lingkungan, yakni sebagai obyek dan subyek. Oleh karena itu sebagai sasaran pengelolaan, manusia harus dapat menikmati hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata. Sedangkan sebagai pelaku pengelolaan, manusia perlu terus meningkatkan kualitas agar dapat menjadi pengelola lingkungan yang handal. Kemudian pada masyarakat Banjarsari modal sosial yang ada adalah masyarakat cenderung bersifar rural, sehingga peran ibu rumah tangga sangat dominan sekali, Disamping itu, ikatan masyarakatnya cukup kuat, sehingga dimungkinkan adanya pertemuan-pertemuan bersama sebagai ajang komunikasi, salah satunya komunikasi dalam masalah pengelolaan sampah (Ariyanto, dkk, 2005:270). Modal social inilah yang digunakan untuk menunjang keberhasilan program pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini selain adanya komitmen yang tinggi dari Block Leader.
Kesimpulan
Keberhasilan pengelolaan sampah berbasis masyarakat di Banjarsari tak lepas dari partisipasi masyarakat dengan lebih melibatkan masyarakat dalam program ini sehingga masyarakat tidak lagi tergantung kepada intervensi pemerintah serta mengedepankan pembangunan masyarakat terutama pada upaya-upaya kerjasama dari masyarakat desa namun dengan bantuan dari organisasi sukarela yaitu bekerjasama dengan UNESCO dan memanfaatkan modal sosial yang ada, akan tetapi modal social di tiap-tiap daerah berbeda-beda tergantung kondisi social masyarakat tersebut.

Buku:
Du Bois, W. and R.D. Wright. Applying Sociology: Making a Better World. Boston: Allyn and Bacon.
Dunham, Arthur. 1962. Community Welfare Organization, Principles and Practices. New York: Thomas Y. Crowell Company.
Ndraha, Taliziduhu. 1987.Pembangunan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta.
Soeriaatmadja R.E, 2000. Pembangunan Berkelajutan yang Berwawasan Lingkungan (Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Tjokrowinoto, Moeljarto. 1996. Pembangunan Dilema dan Tantangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jurnal Ilmiah:
Ariyanto, Dodi dkk. 2005. Pengelolaan Sampah Berbasis Masyarakat: Mewujudkan Masyarakat Madani yang Berwawasan Lingkungan (Sebuah Studi Kasus pada Masyarakat Banjarsari, Cilandak Barat, Jakarta Selatan). Jurnal Bisnis dan Birokrasi No. 03/Vol. XIII/September/2005.

Sabtu, 17 Oktober 2009


Pengaruh Telecenter Malaysia dalam Bangunan Masyarakat

Pendahuluan
Pengenalan telecenter yang menjadi ciri khas masyarakat pedesaan di negara berkembang merupakan inovasi besar untuk masyarakat (Harris, 2001). Masyarakat telecenter akan menjadi penduduk pedesaan pertama berjumpa dengan ICT. Selain itu, telecenter yang berusaha untuk menjembatani digital divide (kesenjangan digital) di daerah pedesaan di negara-negara berkembang sebagai percobaan besar. Telecenter berusaha untuk memberikan interface sederhana antara ICT dan Internet, dan menawarkan layanan komunikasi dasar seperti telepon, fax, mengetik, fotokopi, pencetakan, dan pelatihan dalam penggunaan berbagai ICTs, e-mail, dan jaringan elektronik (Whyte, 2000; Russell, 2000; Graham, 2002).
Tujuan dari makalah ini adalah untuk memeriksa penggunaan dan dampak dari telecenter pada bangunan masyarakat.Yang dipelajari telecenter adalah KedaiKom, sebuah program kolaborasi antara Malaysia Comunication dan Multimedia Commission (MCMC), Internet Service Provider (ISP) dan Unit Perencanaan Ekonomi Negara. Tujuan dari KedaiKom adalah kemampuan untuk membangun, untuk memperkenalkan dan untuk mendorong penggunaan ICT, dan komunikasi untuk menciptakan masyarakat yang dilengkapi dengan berbagai layanan ICT untuk memfasilitasi akses internet, e-commerce, dan e-learning. Fokusnya adalah pada daerah-daerah dengan dasar masyarakat yang aktif tetapi terbatas atau tidak ada akses ICT, yang ada bersama-sama dengan kegiatan ekonomi yang dapat memperoleh manfaat dari akses ini.
Peran KedaiKom adalah untuk memberikan pelayanan ICT kepada masyarakat underserved. Perangkat keras yang diberikan oleh MCMC sebagai salah satu alokasi dengan minimal lima komputer, printer, dan periferal relevan. Tahap pertama dari proyek KedaiKom diluncurkan pada Desember 2002 menargetkan 173 situs dengan alokasi situs per lima kabupaten di negara-negara bagian dari Kedah, Melaka, Pahang, Perak, dan Perlis. Proyek akan diperluas ke negara-negara yang masih dalam tahap kedua. Jumlah total RM30 juta dan RM60 juta telah dialokasikan pada tahun 2002 dan 2003, masing-masing. Sepanjang Juni 2005, sekitar 58 KedaiKom proyek-proyek yang dilaksanakan di negara-negara bagian dari Perak (55 situs), Kedah (2 situs) dan Perlis (1 situs).
Literature review
Telecentre yang merupakan model yang menarik karena lebih hemat biaya; dengan agen eksternal menjaga sumber daya dan anggota staf cakap memberikan dukungan teknis dan pelatihan; memiliki suasana sosial nyaman, dan memberikan bebas atau subsidi dan fleksibel akses (Beamish, 1999; Selwyn, 2003 ).
Proenza dkk. (2001) membedakan telecenter menjadi enam jenis utama; komersial, waralaba, Organisasi Non Pemerintah (LSM), yang berhubungan dengan pendidikan, kota, dan serbaguna. Telecenter jenis ini berbeda dalam dua hal: satu adalah cara di mana manajemen mereka diatur (yakni swasta, LSM, sekolah atau universitas, kota, dan komisi administratif), dan lainnya adalah layanan yang ditawarkan di samping sebuah komputer yang terhubung ke Internet.
Multipurpose telecentre (MCT) adalah berbagi informasi dan sarana komunikasi bagi masyarakat di pedesaan, terpencil dan daerah underserved (Ernberg, 1996, dikutip dalam Owen dan Darkwa, 1999) yang menyediakan fasilitas dan dukungan untuk berbagai layanan dan aplikasi dalam respon terhadap kebutuhan masyarakat (Ernberg, 1998). Dengan berbagi biaya infrastruktur telekomunikasi, IT dan fasilitas pendukung, MCTs yang diharapkan mampu memberikan baik negeri maupun swasta berbasis ICT layanan pada biaya yang lebih terjangkau dan tetap bersemangat komersial. Ernberg (1998, dikutip dalam Proentza dkk, 2001) menyebut bahwa MCT menyediakan layanan publik (yakni telekomunikasi, jarak jauh, telemedicine dll), dan layanan swasta (yakni pos dan layanan perbankan, dan fungsi sebagai outlet untuk layanan komunal lainnya seperti seperti air dan listrik). Menawarkan informasi swasta dan pelayanan komunikasi akan meningkatkan yang berkelanjutan dan meningkatkan efektivitas dari MCT. Dukungan pengguna dan pelatihan yang diberikan kepada pengguna fitur yang membedakan MCTs dari khas telecentres lainnya. Tujuan utama dari MCT adalah untuk mengembangkan kemampuan masyarakat pedesaan, yang berarti bagi mereka untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan untuk memproduksi informasi dan pengetahuan yang relevan dengan kebutuhan mereka.
Pigg (1999) menyebut bahwa masyarakat telecenter bepikiran untuk mewakili kemampuan untuk menciptakan ruang publik yang demokratis dalam proses sosialisasi dan akses informasi, digabungkan dengan dialog beralasan, memperkuat rasa masyarakat umum dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kean (2000, dikutip dalam Mason dan Hacker, 2003) menerima dengan tak memakai bukti bahwa ruang public baru komunikasi sedang dibuat oleh telecenter yang ada di antara kelompok-kelompok kecil di tingkat lokal, yang dapat memberikan stimulasi banyak perubahan di tingkat global. Alkalimat dan Williams (2001) telah dievaluasi secara kritis bahwa telecenter ruang publik yang cukup signifikan untuk menciptakan modal sosial dan mengangkat masalah demokrasi dan isu sosial dari orang yang hidup dalam isolasi. Selain itu, Polletta (1999) menyebut bahwa telecenter dapat membangun pada ikatan perkumpulan dalam konteks yang berbeda, membentuk munculnya mobilising identitas oleh mendemonstrasikan bersama kehadiran orang lain serta memperkuat identitas kolektif dengan memberikan bukti nyata dari keberadaan sebuah kelompok atau masyarakat .
Analisis ruang publik telah memberikan lensa yang berguna untuk melihat telecentres masyarakat dan komunitas-kegiatan pembangunan. Sejauh ini, penelitian di daerah ini, misalnya, oleh Pigg (1999) menemukan bahwa ada sedikit bukti bahwa sifat dan cakupan akses informasi dan komunikasi membuat khas telecenter yang mampu memproduksi atau membangun modal sosial masyarakat. Dengan demikian, sangat perlu untuk mencari cara membangun sebuah komunitas telecentres oleh masyarakat memfasilitasi pembentukan modal sosial, serta bagaimana masyarakat telecenter menyediakan ruang publik di mana informasi masyarakat sipil dapat berkembang dan sosial agar dapat dijaga. Jawaban dari eksplorasi ini terletak di sifat dari bentuk-bentuk informasi dan komunikasi yang diberikan pada masyarakat telecenter oleh stakeholders mereka.
Apalagi, menurut Harris (2001), di tempat dimana teori keberhasilan pusat informasi (IC) dan memperhitungkan pengguna akhir keberhasilan beradaptasi (EUC) mungkin relevan dengan teori telecentre success, seperti digambarkan oleh lima hasil bahwa proyek masyarakat informatika; meningkatkan kuat demokrasi, meningkatkan modal sosial, memberdayakan individu, revitalising terhadap masyarakat, dan memberikan peluang pengembangan ekonomi.
Metodologi
Untuk mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya, studi ini data dikumpulkan melalui kuesioner diri administratif. Kuesioner dibagi menjadi tiga bagian utama:
Bagian 1: Penggunaan Kedaikom, terdiri dari 16 item dan didasarkan pada Porenza et. Al's (2001) bekerja.
Bagian 2: Dampak terhadap Masyarakat Bangunan dikembangkan berdasarkan kerangka kerja yang diusulkan oleh Ferlander (2003). Responden diminta untuk menyatakan tingkat kesepakatan atau perselisihan menyangkut semua item berdasarkan 7 point skala Likert, mulai dari sangat tidak setuju, sangat tidak setuju, tidak setuju, netral, setuju, sangat setuju dan sangat setuju.
Bagian 3: Profil demografis memerlukan responden termasuk ke profil mereka.
Pertanyaan yang diterjemahkan dari bahasa Inggris ke Bahasa Malaysia, bahasa Malaysia resmi yang digunakan secara luas di masyarakat yang dipilih.
Kuesioner disalurkan ke telecentres didirikan oleh MCMC yakni KedaiKom di negara bagian Selangor (Malaysia terdiri dari 13 negara) yang terdiri dari 55 komunitas dari total 58 peserta dari masyarakat Malaysia. Total dari 600 kuesioner (10 sampai 20 di masing-masing kuesioner Kedaikom tergantung jumlah pengguna) telah didistribusikan ke 27 KedaiKom. Walaupun terdapat 55 KedaiKoms di negara bagian Perak, yang hanya kuesioner disebarkan ke 27 dari 39 (70,91%) dikunjungi. Namun, hanya 25 dari pengguna yang berpartisipasi KedaiKoms kembalikan kuesioner yang didistribusikan. Lain dua KedaiKoms tidak mengembalikan kuesioner walaupun mereka telah mendekati dua kali dan operator menyediakan uang untuk mengembalikan kuesioner melalui layanan kurir. Meskipun 12 lainnya KedaiKoms dikunjungi beberapa kali, kuesioner tidak dapat didistribusikan mereka sebagai salah satu ditutup pada saat kunjungan atau mereka tidak beroperasi secara teratur. Sisa 16 KedaiKoms telah dihilangkan dari sampel karena tidak beroperasi lagi. Seperti yang disebutkan oleh operator lain, ini mungkin karena pusat-pusat yang dikelola atau kurang mendapat sedikit dukungan dari kepemimpinan lokal dan anggota masyarakat. Akhirnya, total 360 kuesioner kembali dengan 326 (90,6%) useable untuk analisis.
Temuan
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa proporsi gender nampaknya seimbang, di mana perempuan penerima atau pengguna berjumlah lebih banyak oleh laki-laki yang hanya 2,5%, dan menyumbang 52,5% dari total. Pengguna single terdiri 88,7% dari total pengguna, pengguna menikah 10,4% dan bercerai 0,9%. Dengan status proporsi dominasi oleh single nampaknya cocok dengan persentase dari kelompok umur kurang dari 25 tahun (83,1%). Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna single dan siswa, baik di sekolah menengah, akademi atau universitas. Pola diturunkan oleh pengguna tingkat pendidikan di mana 67,8% dari pengguna memiliki tingkat pendidikan sekolah menengah pendidikan dibandingkan dengan 25,1% (politeknik, akademi dan universitas).
Sosial-ekonomi pola pengguna menggambarkan bahwa sebagian besar dari mereka berasal dari keluarga miskin dan kelompok berpenghasilan rendah, baik yang menganggur atau bekerja sendiri, dan sebagian besar pengguna adalah Melayu. Hasil studi mengungkapkan bahwa 91,4% dari pengguna yang memiliki pendapatan bulanan keluarga kurang dari RM2,000, di mana 66% di antaranya memiliki pendapatan bulanan keluarga kurang dari RM1,000; mereka tinggal di rumah keluarga (78,5%), dan 99,1% adalah dari etnis Melayu (sebagaimana diukur dengan bahasa ibu). Dalam hal pekerjaan, mayoritas adalah siswa (56,1%), sedangkan yang lain yang bekerja sendiri (12,9%), pengangguran (12,3%), pegawai pemerintah (4,3%) dan karyawan swasta (9,8%). Dengan demikian, ketergantungan grup yang mencakup kelompok pelajar dan terdiri menganggur 68,4% dari total pengguna KedaiKom.
Tujuan dari menggunakan Telecenter
Berdasarkan tanggapan yang sebenarnya, lebih dari 70% dari pengguna sepakat bahwa meningkatkan keterampilan kerja terkait; meningkatkan kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, dan mencari pekerjaan yang penting untuk mereka. Sekitar 70% dari pengguna sepakat bahwa mereka lebih baik menjaga informasi yang relevan dengan informasi; mencari, atau teman-teman, membuat baru atau memelihara persahabatan yang sudah ada; mendorong berbagi informasi di antara pengguna; keterlibatan dalam hiburan, dan meningkatkan interaksi di antara anggota masyarakat yang relevan untuk mereka.

Temuan menunjukkan bahwa sebagian besar efektif dan positif penggunaan yang terkait dengan tujuan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan termasuk peningkatan keterampilan kerja, peningkatan penghasilan, keterlibatan dalam teleworks, e-commerce dan e-learning; dan menyelamatkan waktu transaksi pribadi. Selain itu, efektif dan positif lainnya penggunaan yang terkait dengan tujuan untuk memperbaiki jaringan sosial yang meliputi mencari teman baru atau memelihara persahabatan yang sudah ada; keterlibatan dalam hiburan; mendorong berbagi informasi, dan untuk yang lebih baik dengan informasi lokal. Dengan demikian, efektif dan positif penggunaan KedaiKom akan lebih termasuk anggota masyarakat di adaptasi ICT dalam kehidupan sehari-hari.
Dampak Telecenter pada bangunan masyarakat
Berdasarkan tanggapan yang sebenarnya, sekitar 79,7% dari pengguna menunjukkan bahwa pelaksanaan KedaiKom telah meningkatkan kesejahteraan umum masyarakat (figure 1).

Figure 1: Implementation of KedaiKom enhanced community general well-being

Tingkat kesepakatan, berdasarkan tanggapan aktual untuk semua 14 item pertanyaan dari penelitian, menunjukkan bahwa lebih dari 80% dari pengguna yang diharapkan, umumnya, pelaksanaan KedaiKom kemungkinan untuk meningkatkan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, pelaksanaan KedaiKom mungkin telah dicapai dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum. Ia juga mencatat bahwa untuk dua item, 'penurunan kesenjangan antara kelompok yang berbeda' dan 'meningkatkan kepercayaan di antara anggota masyarakat', lebih dari sepuluh persen responden yang netral dalam tanggapan mereka. Ini dapat menyebabkan tanggapan dari pengguna yang tidak yakin apakah perubahan yang telah terjadi. Sangat menarik untuk dicatat bahwa lebih dari 86 persen sepakat dan hanya 2 persen tidak setuju bahwa telah telecentre untuk pengembangan yang lebih kuat rasa identitas lokal yaitu mereka merasa lebih dekat satu sama lain.
Diskusi dan kesimpulan
Studi ini memilih proyek teknologi masyarakat, khususnya, proyek “Multipurpose Community Telecentre” (MCT) di Malaysia. Proyek MCT yang merupakan model untuk memfasilitasi masyarakat underserved untuk menggunakan ICT untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Salah satu program Multipurpose Community Telecentre” yang dapat melakukan hal ini adalah KedaiKom. Peran KedaiKom adalah untuk memberikan pelayanan ICT kepada masyarakat underserved dengan tujuan utama untuk membangun kapasitas, untuk memperkenalkan dan mendorong penggunaan ICT, dan komunikasi untuk menciptakan masyarakat yang dilengkapi dengan berbagai layanan ICT untuk memfasilitasi akses Internet, e-commerce, dan e-learning. Dengan demikian, mendirikan suatu badan dasar dari model yang berkelanjutan, studi diteliti penggunaan dan dampak KedaiKom pada bangunan masyarakat. Harus dicatat di sini bahwa karya ini menyajikan bagian dari temuan-temuan dari penelitian yang lebih besar di daerah ini.
Penggunaan positif dan efektif KedaiKom secara signifikan mempengaruhi bangunan masyarakat dari masyarakat underserved. Temuan ini sesuai dengan Van Dijk dan Hacker (2003); Warchauer (2002), dan Romm dan Taylor's (2001) argumen yang positif dan efektif dari penggunaan Internet, khususnya di telecenters, menghindari pengguna akan mendapatkan digital dari kemampuan yang terbatas untuk operasi, pengelolaan hardware dan software, bukan mendorong mereka untuk memperoleh keterampilan digital tentang bagaimana untuk mencari, menggunakan dan berbagi informasi. Kesenjangan dalam penggunaan telecenter akan membagi pengguna secara sistematis dan menggunakan manfaat dari telecenters untuk pekerjaan dan pendidikan dan pengguna yang menggunakan telecenters untuk sederhana dengan aplikasi yang relatif besar menjadi hiburan. Selain itu, dalam mencari kesepakatan dengan Van Dijk (1999, dikutip dalam Mason dan Hacker, 2003), dan dari De Haan (2003) argumen bahwa pengguna dengan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan akan dilewati. Dengan demikian, ada kebutuhan bagi pengguna untuk meningkatkan penggunaan ICT aplikasi berkontribusi untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan yang pada gilirannya akan mengakibatkan lebih banyak dan lebih sering menggunakan beragam dari telecenters. Temuan juga menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna KedaiKom pengguna inti yang menggunakan telecentres positif dan mempengaruhi dengan penggunaan komprehensif dan berkesinambungan, terutama untuk mencari informasi, komunikasi dan keaslian atau produksi konten digital, yang sesuai dengan pendapat Murdock's (2002, dikutip dalam Selwyn, 2003).
Pelaksanaan KedaiKom di masyarakat underserved umumnya membangun masyarakat. KedaiKom membawa perubahan positif dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dengan menciptakan kombinasi baru bentuk komunikasi online, meningkatkan hubungan yang ada secara offline, dan membuat media baru memperoleh informasi di antara anggota masyarakat setempat. Ini baru bentuk multichannels komunikasi dan penyebaran informasi tidak menciptakan dan mempertahankan modal sosial masyarakat, khususnya atau solidaritas sosial. Kohesi sosial kemungkinan akan seperti berasal dari yang aktif dan efektif penggunaan dan akses keahlian, dukungan akses yang memadai, partisipasi sosial aktif, timbale balik perawatan, tingkat kepercayaan tinggi, dan rasa yang kuat dari masyarakat, sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam menciptakan dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat, termasuk faktor terhadap masyarakat, partisipasi sosial, dan kepercayaan timbal-balik harus dipelihara dan diinvestasikan secara berat oleh masyarakat setempat. Tujuan investasi adalah untuk mendukung dan melengkapi akses masyarakat yang disediakan oleh KedaiKom agar masyarakat underserved menjadi mampu membangun masyarakat mereka sendiri.
Penelitian sekarang ini menemukan sesuai dengan Wellman et al. (2001) dan Prell's (2003) berpendapat bahwa pelaksanaan telecenter membangun masyarakat, jika penggunaan tinggi telecenter meningkatkan modal sosial. Dalam pengertian ini, penggunaan tinggi KedaiKom meningkatkan partisipasi sosial, timbal balik, dan rasa masyarakat; dan mempertahankan dan memperkuat ikatan dan menjembatani hubungan yang telah ada karena komunikasi yang multichannel yang disediakan oleh KedaiKom dan kontak interpersonal offline di mana anggota masyarakat bisa bertemu, berinteraksi, berkomunikasi, dan bertukar informasi dan sumber daya melalui ruang public KedaiKom. Dengan demikian, temuan ini juga sesuai dengan Gordo (2003) yang berpendapat bahwa kemampuan untuk memanipulasi teknologi adalah kemampuan anggota masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses jaringan. Cecchni dan Scott (2003) juga percaya bahwa keberhasilan proyek-proyek ICT dicirikan oleh kepemilikan lokal dan partisipasi aktif dari masyarakat.
Penemuan juga mendukung Donnemeyer dan Hollifield (2003) yang berpendapat bahwa penduduk pedesaan hidup dalam komunitas di tempat yang sering ketinggalan tren nasional, dan tertinggal di belakang memiliki modal sosial yang diperlukan untuk memanfaatkan ICT (yaitu kesadaran, pengetahuan, dan partisipasi). Masyarakat dalam hal teknologi, komunitas underserved ini telah diberi kesempatan untuk menggunakan teknologi canggih dengan akses broadband yang tidak ada bahkan di daerah-daerah lebih berkembang. Selain itu, pedesaan dan daerah yang tak terlayani masih hidup dari sumber-sumber sosial yang memadai, khususnya jaringan sosial, timbal balik, dan rasa masyarakat, yang mana diperlukan untuk mendukung program-program teknologi masyarakat.
Keterbatasan utama dari penelitian ini adalah bahwa para peneliti tidak dapat memperoleh tanggapan dari semua 55 KedaiKoms karena berbagai alasan. Namun, harus dicatat di sini bahwa unit analisis bukanlah KedaiKom itu sendiri melainkan pengguna yang sebenarnya pusat. Oleh karena itu, temuan-temuan penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar otoritas yang relevan untuk meninjau ulang kebijakan yang ada pada komunikasi dan teknologi informasi, khususnya yang berkaitan dengan kesenjangan digital. Studi ini menunjukkan bahwa pengguna KedaiKom memiliki manfaat dari pembentukan pusat dan hal itu telah membawa dampak positif kepada masyarakat, khususnya dalam hal pembangunan masyarakat. Mereka punya lebih banyak kesempatan untuk meningkatkan status ekonomi mereka (kapasitas semakin maju) dan dimasukkan dalam kegiatan-kegiatan sosial dan digital.
Bagaimana jika Proyek KedaiKom Diterapkan di Indonesia???
KedaiKom merupakan sebuah proyek yang sangat bagus untuk mengurangi kesenjangan digital yang ada pada masyarakat apalagi pelaksanaan KedaiKom diutamakan pada masyarakat yang underserved sehingga dengan keberadaan KedaiKom mampu membangun masyarakat mereka sendiri. KedaiKom sendiri membawa perubahan positif dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dengan menciptakan kombinasi baru bentuk komunikasi online, meningkatkan hubungan yang ada secara offline, dan membuat media baru memperoleh informasi di antara anggota masyarakat setempat
Dengan melihat kasus KedaiKom di Malaysia apakah mungkin proyek KedaiKom diterapkan di Indonesia? Jawabannya mungkin saja, dengan memanfaatkan modal social yang ada proyek semacam KedaiKom dapat diterapkan di Indonesia. Di Indonesia untuk saat ini masyarakat mendapatkan informasi informasi pembangunan dan lain sebagainya yang berkaitan dengan pemerintah biasanya menggunakan media RT/RW, untuk itu KedaiKom bisa didirikan di tiap RT/RW yang digunakan sebagai media untuk mendapatkan informasi bagi masyarakat hingga komunitas akar rumput. Untuk tempat, kita bisa memanfaatkan pos kamling yang ada di tiap-tiap RT dan dapat memberdayaakan remaja RT atau Karang Taruna untuk menggelola KedaiKom ini. Dengan pendirian Proyek ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan digital dintara masyarakat dan masyarakat dapat memperoleh informasi pembangunan yang dapat dipercaya. Proyek ini juga diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan dengan masyarakat dapat mengakses informasi ekonomi dan bisnis serta jaringan bisnis sehingga dapat memajukan usaha ekonomi kerakyatan yang ada seperti jika di wilayah tersebut adalah sentra-sentra usaha ekonomi kerakyatan (sentra usaha peci, jamur, bordir, batik, dll) dapat memanfaatkan Kedaikom untuk memperluas pemasaran dan teknologi dalam cara produksi. Kendala yang ada dengan pyoyek ini jika dikembangkan secara swadaya pastilah adalah alokasi dana. Tetapi jika proyek ini didukung oleh pemerintah dan atau swasta ikut dalam proyek ini tentu saja masalah dana dapat diatasi, sekarang masalahnya apakah mendapat dukungan dari stakeholder untuk mengimplementasikan proyek ini demi kesejahteraan masyarakat.
Sebenarnya di Indonesia-pun ada program semacam KedaiKom yang dilakukan oleh pemerintah yaitu KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) tetapi gaungnya kurang terdengar. Pada dasarnya KIM (Kelompok Informasi Masyarakat) merupakan suatu lembaga/organisasi yang dibentuk atas prakarsa/inisiatif masyarakat dengan kata lain dari, oleh dan untuk masyarakat dalam upaya mengakses informasi pembangunan di semua bidang kehidupan. Lembaga ini dikelola dengan berbasis masyarakat dengan harapan memenuhi publik akan kebutuhan, aksesibilitas dan diseminasi informasi kebijakan. Namun demikian, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa lembaga berbasis masyarakat terkendala dengan animo dan respon masyarakat untuk mengelola lembaga tersebut. Apalagi KIM hingga saat ini tidak mendapatkan dukungan dana karena asumsi pemerintah bahwa lembaga tersebut mandiri dari masyarakat.
KIM adalah sebuah kelompok yang bergerak dalam dunia komunikasi informasi. KIM memang bisa dimaknai sebagai revitalisasi dan reaktualisasi kelompencapir yang disesuaikan dengan paradigma pembanguanan dan pemerintahan dewasa ini. Demokratisasi menjadi ruh penggerak kelompok yang sudah mulai menjamur di Indonesia. Bahkan sebagian besar KIM memulai pertumbuhan dari bawah, alami dari, oleh dan untuk masyarakat. KIM juga bukan suatu organisasi masa, dibeberapa wilayah, KIM merupakan kumpulan organisasi pembinaan masyarakat yang telah ada misalnya PKK, Karang taruna, pengrajin dan sebagainya.

Direview dari: The Influence of Malaysian Telecenters on Community Building by Zulkefli Ibrahim and Sulaiman Ainin, Faculty of Business and Accountancy, University of Malaya, Electronic Journal of e- Government Volume 7 Issue 1 2009, pp. 77 - 86, available online at www.ejeg.com